Surabaya – Newsweek - Huang Renyi, seorang warga negara asing (WNA) asal Tiongkok yang dipenjara karena menabrak kakak beradik Dionisia Mbelong (24) dan Kristiani Kasi (20) hingga meninggal dunia menjalani sidang lanjutan tindak pidana di Pengadilan Negeri Surabaya. Dia dijerat pidana dalam Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Setelah sidang, saksi H. Edy Wijaya kepada awak media menceritakan kalau dalam persidangan tadi sempat terjadi perdebatan antara dia dengan tim penasehat hukum terdakwa Huang Renyi tentang uang santunan sebesar Rp. 120 Juta yang diklaim sudah diserahkan kepada orang tua korban di Manggarai Nusa Tenggara Timur (NTT), menjelang 40 hari setelah kejadian kecelakaan itu terjadi.
“Keluarga korban tergolong tidak mampu di desanya, mereka ganya seorang buruh tani. Korban adalah anak mereka yang baru lulus sekolah lantas disuruh bekerja untuk membiayai kehidupan orang tua dan adik-adiknya,” kisahnya.
Menurut Edy, kedua korban ini baru bekerja 3,5 bulan ditempatnya. Biasanya kata Edy kalau dapat gaji dari dia, masing-masing sebesar Rp.2 Juta, maka yang Rp.1,5 Juta dikirim oleh korban kepada orang tuanya. Sedangkan sisanya yang Rp.500 ribu dipaka sendiri.
“Biasanya saya yang disuruh transfer. Mereka adalah anak-anak yang sangat baik, ibadahnya juga luar biasa. Saya sangat terkesan sekali dengan kedua korban meskipun baru 3,5 bulan bekerja ikut saya,” lanjutnya.
Edy juga mengungkapkan kalau terdakwa Huang Renyi ditempat kejadian perkara tidak menampakan rasa bersalah sama sekali dengan tidak pernah menolong korban.
“Jadi hanya saya dan security Grand Pakuwon yang menolong. Parahnya lagi, sejak kejadian hingga dua bulan berlalu tidak ada satu rupiahpun santunan yang diberikan oleh terdakwa. Giliran untuk meringankan hukumannya, terdakwa ini mau memberikan santunan. Meski hingga saat ini kedua orang tua korban di Manggarai tidak mau menerima santunan itu,” tuturnya.
Kepada awak media, Edy juga mengatakan menolak terkait klaim dari terdakwa di persidangan yang mengatakan hendak membantu mencarikan ambulan.
“Gimana mau membantu wong bahasa Indonesia saja tidak bisa. Mirisnya lagi, terdakwa ini memakai kakinya sewaktu memastikan apakah kondisi korban sudah meninggal atau tidak. Melihat tindakan semacam itu hampir saja terdakwa ini saya pukul. Saya sudah angkat batu tapi dipegangi oleh security. Terdakwa ini menabrak bukan satu kali tapi enam kali. Ada bekasnya semua dan pihak polisi juga tahu. ” tutur Edy.
Mengakhiri wawancaranya, Edy berharap hukum ditegakkan agar kedapan para WNA tidak lagi memperlakukan nyawa dari para pribumi dengan sembarangan.
“Juga untuk membangun marwah PN Surabaya setelah kasus Ronald Tanur. Jangan pernah mau menerima ini dan itu dari terdakwa. Semoga tidak ada belanja jaksa dan belanja hakim di kasus kecelakaan ini. Sebab ini menyangkut dua nyawa. Saya ingin melihat berapa tuntutan dari Jaksa dan berapa vonis dari hakim,” pungkas H. Edy Wijaya.
Sebelumnya dalam surat dakwaan disebutkan, Minggu itu tanggal 01 September 2024 sekitar pukul 18.41 Wib dalam kondisi mengantuk, terdakwa Huang Renyi keluar dari rumahnya mengemudikan Mobil Pajero dari arah Barat ke Timur di Jalan Row 30 Tahap III Grand Pakuwon Surabaya.
Selanjutnya, tepat di depan Cluster Brisbane Blok JD-17 No.30 Surabaya, terdakwa menabrak sepeda listrik roda tiga warna merah merk Uwinfly yang dikemudikan berboncengan oleh korban Dionisia Mbelong dengan korban Kristiani Kasi dari arah yang sama dengan terdakwa.
Sebetulnya terdakwa sempat berusaha melakukan pengereman. Namun saat itu terdakwa malah salah injak pedal gas, sehingga laju mobil yang dikendarainya tidak dapat berhenti dan akibatnya menyeret sepeda listrik yang dikendarai oleh kedua korban beberapa meter ke depan.
Sehingga posisi sepeda motor listrik yang dikendarai oleh korban Dionisia dan Kristiani sudah berada dibawah kolong mobil terdakwa dan korban Dionisia dan Kristiani saat itu dalam kondisi berlumuran darah serta tidak sadarkan diri.
Buntut dari kecelakaan itu, datanglah saksi Robert Aji Nur Adita, petugas security Grand Pakuwon Surabaya. Karena dua korban dalam kondisi berlumuran darah dan tidak sadarkan diri, saksi Robert pun menghubungi rekan security lainnya yaitu saksi Bagus Arrochman, untuk memanggil Ambulan.
Lima menit kemudian, datanglah saksi H. Edy Wijaya selaku bos dari korban Dionisa dan Kristiani membantu mengeluarkan kedua tubuh korban dari kolong mobil sambil menunggu ambulan datang.
Dirasa terlalu lama menunggu ambulan, akhirnya kedua korbab dilarikan ke Rumah Sakit Bhakti Dharma Husada (BDH) Surabaya oleh saksi Kevin Andri Setiawan selaku security Grand Pakuwon Surabaya.
Namun takdir berkata lain, 10 menit setibah di rumah Sakit, korban Dionisia dinyatakan meninggal dunia oleh Dokter, sedangkan Kristiani menyusul kakaknya meninggal dunia pada hari Selasa tanggal 03 September 2024 sekira pukul 05.30 Wib di Rumah Sakit Bhakti Dharma Husada Surabaya. (Ban)