Surabaya, Newsweek - Banyak kendala dialami sejumlah
advokat, jaksa, hingga hakim dalam menjalani sidang pidana secara
teleconference atau online di Pengadilan Negara (PN) Surabaya. Melihat
kondisi tersebut, praktisi hukum menilai bahwa sidang online merugikan
kepentingan kukum terdakwa.
Sidang pidana
secara online di pengadilan diatur berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara
Pidana di Pengadilan Secara Online. Perma tersebut dikeluarkan saat
Indonesia dilanda Pandemi COVID-19.
Namun setelah Pandemi COVID-19 berakhir, Presiden Joko Widodo
mengeluarkan Keppres Nomor 24 Tahun 2023, yang menyatakan bahwa status
Pendemi Covid-19 telah berakhir, sehingga tidak diwajibkan memakai
masker dan tidak perlu lagi menjaga jarak.
Namun
meski pandemi Covid-19 telah berakhir, faktanya PN Surabaya hingga saat
ini masih menerapkan sidang online. Tak hanya itu, banyak kendala
dikeluhkan saat sidang online, misalnya kondisi jaringan yang buruk.
Melihat
kondisi tersebut, praktisi hukum Yusron Marzuki mengaku prihatin.
“Sidang online ini lahir berdasarkan PERMA Nomor 4 Tahun 2020 saat
terjadinya Pandemi COVID-19. Kemudian pada 2023 terbit Keppres Nomor 17
Tahun 2023 tentang berakhirnya status Pendemi Covid-19,” jelasnya kepada
wartawan, Rabu (31/1/2024).
Yusron
menegaskan, padahal berdasarkan Keppres Nomor 17 Tahun 2023 tersebut,
pemerintah tidak lagi mewajibkan masyarakat melakukan jaga jarak dan
menggunakan masker. “Penerapan sidang offline (terdakwa hadir di sidang)
sudah dilakukan di beberapa pengadilan, seperti Pengadilan Negeri
Gresik, Pengadilan Negeri Sidoarjo. Tapi di PN Surabaya sidang tatap
muka harus melalui permintaan kuasa hukum,” katanya.
Dosen
Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya ini menambahkan, dengan
berakhirnya pandemi dan diterbitkannya Keppres Nomor 17 Tahun 2023,
seharusnya PN Surabaya sudah tidak lagi menerapkan sidang secara online.
Menurutnya, seharusnya tata cara sidang kembali pada UU Nomor 48 tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. “Dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 itu,
sidang digelar secara terbuka, terdakwa dihadirkan di muka persidangan.
Hal itu wajib sebagaimana perintah dalam KUHAP,” tegas Yusron.
Yusron
menilai, sidang online sangat merugikan kepentingan hukum terdakwa.
“Saat keterangan saksi, terdakwa hanya bisa mendengarkan yang bisa saja
suaranya kurang jelas. Sementara dalam sidang offline (terdakwa hadir di
persidangan), terdakwa bisa berdiskusi dengan kuasa hukum saat ada
keterangan yang tidak berkesesuaian.
Jadi
sidang online sangat merugikan kepentingan hukum terdakwa,” tegasnya.
Saat ditanya apakah PERMA Nomor 4 Tahun 2020 harus dicabut untuk
menggelar sidang secara offline, Yusron menegaskan PERMA tersebut secara
otomatis gugur dengan keluarnya Keppres. (Ban)