Surabaya, Newsweek - Sefanus Sulayman, terdakwa kasus
dugaan penggelapan uang Harto Wijoyo sebesar Rp 30 miliar menjalani
sidang pembelaan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Kamis (17/11/2022).
Stefanus mengajukan pembelaan setelah dituntut 4 tahun penjara oleh
Jaksa Kejati Jatim, Hari Rahmat Basuki. Nota
pembelaan yang diajukan pengusaha itu dibacakan Ben Hadjon, ketua tim
penasehat hukumnya di ruang sidang Garuda 2 Pengadilan Negeri (PN)
Surabaya.
Berdasarkan nota pembelaan atau
pledoi untuk perkara nomor : 1914/Pid.B/2021/PN.Sby itu, terdakwa
Stefanus Sulayman meminta kepada majelis hakim yang memeriksa dan
memutus perkara tersebut supaya membebaskan dirinya dari segala dakwaan
hukum atau vrijspraak. Juga meminta dirinya dilepaskan dari segala
tuntutan hukum atau onslag van rechtsvervolging serta menetapkan
rehabilitasi atau memulihkan nama baiknya.
“Secara
resmi kami menyampaikan bahwa proses pidana ini merupakan bentuk
kriminalisasi terhadap klien kami. Marilah kita menegakan hukum secara
obyektif dan proporsional dan bukan hanya sekedar mencari-cari
kesalahan," ujar kuasa hukum Stefanus Sulayman, Ben Hadjon dalam
keterangannya selesai pembacaan pembelaan.
Dalam
pledoinya Ben Hadjon juga dengan tegas menolak dalil Jaksa yang
menyatakan bahwa Harto Wijoyo pernah tidak hadir di Hotel Sheraton pada
tanggal 20 Juni 2017 untuk pelaksanaan pembuatan Ikatan Jual Beli (IJB)
dan Kuasa Jual.
"Dengan tegas saya nyatakan
menolak. Harto Wijoyo berangkat dari Malang ke Surabaya bersama saksi
Yohanes Maria Vanai, saksi Charis Junaidi, mereka berangkat sama-sama
walaupun beda mobil. Mana mungkin mereka sudah sampai, sedangkan Harto
Wijoyo jam 6.00 WIB baru nyampai," tegasnya.
Jadi
kami tegas menolak dalil penuntut umum yang menyatakan Harto Wijoyo
tidak hadir yang hanya berpatokan pada keterangan saksi Adin dari Bank
BRI. "Ingat lho jam 7.00 WIB Charis Junaidi
sudah sampai di Jakarta. Bagaimana mungkin dia (Harto Wijoyo) baru tiba
di Sheraton jam 6.00 WIB," lanjutnya.
Menurut
Ben Hadjon, keterangan saksi Adin yang mengatakan kira-kira jam 3.00 WIB
semuanya bersifat perkiraan. Sebab Tidak ada satupun saksi yang
menyatakan pasti jam 3.00 WIB. Sehingga dari situ ditarik kesimpulan
berarti mereka baru tiba di Surabaya jam 6.00 WIB karena terhalang
lumpur Lapindo, berarti Harto Wijoyo tidak pernah nyampai.
"Itu
asumsi, bukan fakta. Fakta itu kan berdasarkan keterangan saksi-saksi
dalam persidangan. Yohanes Maria Vanai menyatakan bilang sama-sama
menyaksikan Kharis Junaidi datang bersama Harto Wijoyo hingga berangkat
ke Jakarta. Masakan saksi Charis Junaidi jam 7.00 WIB sudah sampai di
Jakarta, sedangkan jam 6.00 WIB Harto Wijoyo baru nyampai di Surabaya,"
tambah Ben Hadjon.
Kepada awak media, Ben
Hadjon menantang Jaksa Penuntut umum bertarung secara profesional, bukan
hanya berdasarkan asumsi semata. Sebab kata Ben Hadjon keterangan dari
saksi Adin berupa pemikiran semata.
"Lalu
keterangan saksi Maria Vanai yang sama-sama berangkat dari Malang ke
Surabaya pada saat penandatangan apakah tidak mempunya nilai. Keterangan
saksi Charis Junaidi, keterangan saksi Hendra Theimailattu, saksi
Notaris Maria Baroroh juga tidak mempunya nilai," tantangnya.
Yang
kedua, Ben Hadjon menyebut sangat tidak rasional bagaimana mungkin
blangko kosong yang baru ada pada tanggal 20 Juni 2017 dan di tanggal 20
Juni 2017 itu juga (saat itu juga) sudah menjadi Akta. "Ini sangat tidak rasional. Tulis itu," tantangnya. (Ban)