Hartanto Buchori Ketua Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI) |
SURABAYA - Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI) sejak beberapa waktu lau mempunyai komitmen, Secara
umum bila jurnalis dihalang-halangi dalam melaksanakan tugas
jurnalistik atau mengalami permasalahan terkait tugas jurnalistiknya,
seyogyanya organisasi jurnalis yang bersangkutan melakukan pembelaan
secara profesional proporsional.
Namun bila jurnalis
mendapatkan perlakuan kekerasan saat melaksanakan tugas jurnalistik
dengan benar, maka menjadi permasalahan bersama semua
jurnalis/organisasi jurnalis/pers. Dan semua jurnalis/organisasi
jurnalis wajib melakukan pembelaan secara profesional proporsional.
Seringkali
kita mengetahui dari berbagai saluran informasi/sumber, seorang
“Jurnalis/wartawan” mendapatkan perlakuan kekerasan. Dalam hal demikian
PJI tidak akan mungkin langsung melakukan pembelaan “membabi buta”
sebelum mendapatkan info jelas bahwa yang bersangkutan benar benar
‘jurnalis/wartawan’ sebagaimana diamanatkan dalam UU Pers (Undang undang
No. 40 tahun 1999 tentang Pers), menjalankan KEJ (Kode Etik
Jurnalistik) dan mematuhi Peraturan/Aturan Dewan Pers, serta kekerasan
yang didapatkannya patut diduga akibat yang bersangkutan melaksanakan
kegiatan jurnalistiknya dengan benar.
Organisasi
wartawan yang bersangkutanlah yang seharusnya paling bertanggung-jawab
melakukan pembelaan terhadap anggotanya yang mengalami permasalahan.
Disinilah perlunya semua jurnalis/wartawan berorganisasi sebagaimana
diamanatkan dalam UU Pers. Tentukan organisasi wartawan yang sah dan
mendapat pengakuan Dewan Pers, serta menurut penilaian kita menjalankan
tugas kewajibannya secara benar dan benar benar melakukan pembelaan
terhadap anggotanya secara professional proporsional serta amanah.
Beberapa
kali PJI melakukan pembelaan professional proporsional terhadap
jurnalis yang bahkan bukan anggota PJI. Pembunuhan Pemimpin Redaksi
LasserNewsToday Mara Salem Harahap di Karang Anyer Simalungun Sumatera
Utara (16/6/2021), penyiraman air keras terhadap Pemimpin Redaksi media
online JelajahPerkara.com Persada Bhayangkara Sembiring (25/7/2021),
persekusi terhadap jurnalis Tempo Nurhadi (27/3/21) dan lain-lain. Dalam
permasalahan itu PJI intens melakukan “penekanan” terhadap pihak-pihak
yang berkompeten untuk melakukan tindakan hukum tegas.
Namun
kita yang benar-benar melakukan kegiatan jurnalistik sebenarnya pasti
juga mengetahui, di lapangan banyak yang mengaku aku “Wartawan/Jurnalis”
hanya dengan berbekal ID card atau kartu wartawan atau surat tugas dan
berbagai atribut lain yang dikeluarkan oleh media tertentu yang
cenderung “tidak jelas”. Pimpinan medianya/Pemimpin
redaksinya/Penanggung jawab redaksinya juga cenderung “tidak jelas”,
bahkan kita ketahui tidak pernah berprofesi sebagai wartawan sebenarnya.
Medianyapun banyak yang tidak memenuhi persyaratan UU Pers. KEJ
“diinjak-injak”, terlebih Peraturan/Aturan Dewan Pers, dinisbikan. Ini
realita. Dewan Pers menyebutnya sebagai wartawan abal-abal.
Wartawan
abal abal ini bukan mencari berita dan tidak pernah memberitakan.
Mereka tidak melakukan kegiatan jurnalistik yang sebenarnya. Tujuannya
hanya cari “duit kecil” dengan cara yang sangat jauh dari ‘terhormat’
bahkan memalukan dan dengan mendompleng atribut jurnalis. Sebagian
bahkan “dompleng sana dompleng sini” untuk tujuan melakukan perbuatan
kriminal pemerasan. Tipe tipe ini bagi saya, “sampah”. Mengotori tugas
mulia jurnalis/wartawan. Apakah terhadap “sampah” seperti ini PJI
melakukan pembelaan?! Jelas tidak.
Demi mempertahankan nilai
kehormatan jurnalis/wartawan yang sebenarnya, semua rekan seyogyanya
saling mengingatkan bahkan memproteksi bila menemukan wartawan
abal-abal. Jangan hanya “masa bodoh”. Reformasi 1998 harus tuntas dan
menghasilkan jurnalis kritis, handal namun tetap bertanggung jawab. (fr)