Surabaya, Newsweek - Ferri Jocom, mantan
Kepala Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Satpol PP Kota
Surabaya menjalani sidang perdana sebagai terdakwa di Pengadilan Tipikor
Surabaya, Rabu (28/9/2022). Warga Bukit Palma Blok C3, Pakal, Surabaya
ini didakwa atas kasus dugaan korupsi penjualan barang sitaan Satpol PP
Kota Surabaya.
Saat membacakan surat
dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nur Rachmansyah mengatakan,
terdakwa sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemkot Surabaya yang diberi
tugas sebagai Kepala Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
Satpol PP Kota Surabaya dengan sengaja menjual barang hasil (sitaan)
penegakan peraturan daerah yang disimpan di Gudang Satpol PP Kota
Surabaya di Jl Tanjungsari No 11-15 Surabaya. "Perbuatan terdakwa
menjual barang hasil penegakan peraturan daerah dilakukan pada 17 Mei
2022 sampai dengan 23 Mei 2022," ujarnya.
Aksi
terdakwa menjual barang sitaan dilakukan dengan modus operandi yakni
penyalahgunaan wewenang jabatan (abuse of power) yang dimilikinya.
Sehingga dengan wewenang tersebut dipergunakan untuk memperdaya dan
menggerakkan orang lain baik itu bawahannya ataupun pihak ketiga. "Bahwa
terdakwa menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
dikuasai karena jabatannya selaku Kepala Bidang Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat Satpol PP Kota Surabaya," katanya.
Aksi
terdakwa dilakukan dengan modus menyuruh saksi Sunadi alias Cak Sup,
saksi Yateno alias Yatno, saksi Mohammad S Hanjaya alias Abah Yaya, dan
saksi Slamet Sugianto alias Sugi untuk mencarikan pembeli. "Dengan
alasan pembersihan dan dilakukan pemasangan paving, sehingga barang
sitaan yang berada di gudang Satpol PP akan dikeluarkan semua,"
terangnya.
Namun ternyata empat saksi tersebut
gagal mendapatkan pembeli seperti yang diinginkan terdakwa. Kemudian
terdakwa bertemu saksi Abdul Rahman dan menyepakati jual beli seharga Rp
500 juta untuk seluruh barang sitaan yang berada di gudang Satpol PP.
"Atas dasar kesepakatan tersebut saksi Abdul Rahman memilah dan
mengangkut besi-besi dengan menggunakan dua truk, yang kemudian dijual
ke PT Raksa dengan harga Rp 45 juta," beber JPU Nur Rachmansyah.
Atas
perbuatannya, terdakwa didakwa pasal 10 huruf a, pasal 10 huruf b jo
pasal 15 jo pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Atas
dakwaan tersebut, terdakwa menyatakan bakal mengajukan eksepsi pada
sidang pekan depan. Eksepsi diajukan lantaran terdakwa merasa surat
dakwaan tersebut tidak menjelaskan rangkaian peristiwa hukum dengan
runtun.
Usai sidang, Abdurrahman Saleh, kuasa
hukum terdakwa melihat ada kejanggalan dalam perkara ini. "Dakwan itu
pasal 10 huruf a, pasal 10 huruf b jo pasal 15. Pasal 10 adalah
menggelapkan, jadi kalau ada peristiwa hukum seperti itu kan tidak satu
orang," katanya kepada wartawan.
Abdurrahman
menjelaskan, dalam peristiwa pidana umum, jika terdakwa didakwa pasal
penggelapan, maka pembelinya bisa dikenakan pidana yakni sebagai
penadah. "Apalagi ini dalam tindak pidana korupsi, kenapa pembeli barang
hasil penggelapan kok masih berkeliaran," keluhnya.
Selain
itu, Abdurrahman menilai bahwa perkara yang menjerat kliennya setengah
hati. Karena menurutnya, peristiwa hukum pidana harus berangkai dan
runtun, ada peran, ada turut serta dan pemerserta. "Apalagi pasalnya 10
dan 15 ini kan percobaan dari undang-undang korupsi. Berartikan
coba-coba. Kenapa percobaan? karena yang didakwakan itu setengah hati.
Harusnya ini ada pelaku yang menjualkan dan pembeli, kenapa itu
dibiarkan," ungkapnya.
Kejanggalan lainnya,
kata Abdurrahman, PT Raksa yang membeli barang-barang dari hasil sitaan
Satpol PP yang dijual oleh terdakwa justru tidak dijadikan tersangka.
"Ini menjadi pertanyaan besar," pungkasnya. (Ban)