Surabaya, Newsweek - Kasus dugaan malpraktek yang diduga
dilakukan oleh dokter Moestijab kepada pasiennya memasuki babak baru.
Upaya hukum kasasi yang diajukan Tatok Poerwanto dikabulkan oleh
Mahkamah Agung RI melalui Putusan Nomor 181/K/Pdt/2021, tanggal 29
September 2021.
Tiga Hakim Agung yang terdiri
dari Prof.Dr Takdir Rahmadi, SH, LL.M (Ketua), Maria Anna Samiyati, SH,
MH dan Dr. Dwi Sugianto, SH, MH sepakat menyatakan Dirut PT. Surabaya
Eye Clinic (Klinik Mata Surabaya) ini melakukan perbuatan melanggar
hukum atas tindakan operasi katarak yang menyebabkan mata Warga Jalan
Ubi 2 No.23 Surabaya ini mengalami kebutaan permanen.
Putusan
kasasi ini menganulir dua putusan sebelumnya yang menolak gugatan
Tatok, yakni Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor
277/PDT/2020/PT.SBY tanggal 16 Juni 2020 dan Putusan Pengadilan Negeri
Surabaya Nomor 415/Pdt.G/2019/PN Surabaya, tanggal 10 Maret 2020.
Dalam gugatannya, Tatok juga menggugat PT. Surabaya Eye Clinic sebagai tergugat 2 dan RSUD Dr. Soetomo sebagai turut tergugat. Hal
itu disampaikan Ketua Bidang Hukum dan HAM Nasional DPP Kongres Advokat
Indonesia (KAI), Ir Eduard Rudy Suharto, SH, MH selaku kuasa hukum
Tatok Poerwanto saat press rilis, Rabu (18/5). "Dalam
amar putusan kasasi ini, dokter Moestijab dan Klinik Mata Surabaya
dihukum membayar ganti rugi materiil dan immatreiil sebesar Rp
1.260.689.917 secara tanggung renteng," jelasnya.
Terhadap
putusan kasasi tersebut, Ketua DPC KAI Surabaya ini juga mengungkapkan,
termohon kasasi sudah menyampaikan ke pihaknya akan membayar ganti
rugi, namun tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Agung tersebut.
“Permintaan
mereka pembayaran ditawar dengan nilai yang sangat jauh dari putusan
Mahkamah Agung sehingga kami akan ajukan permohonan eksekusi minggu
depan atas harta benda yang dimiliki termohon,” ungkapnya.
Namun
yang jelas, kata Ketua IPHI Surabaya ini, segala bentuk ganti rugi yang
diberikan oleh Mahkamah Agung tidak sebanding dengan kerugian yang
dialami kliennya. "Sampai hari ini mata kirinya mengalaminya kebutaan total," katanya.
Pasca
diterimanya salinan putusan kasasi yang berkekuatan hukum tetap ini,
Eduard Rudy akan mendatangi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya agar
melakukan pemeriksaan pelanggaran kode etik terhadap dokter Moestijab.
"Sebagai
Induk Organisasi Kedokteran, IDI juga harus punya tanggung jawab untuk
melakukan pengawasan. Putusan ini telah inkrcaht dan sudah sepatutnya
IDI juga harus menjatuhkan sanksi," tandas Direktur Bejana Law Office
ini kepada awak media.
Terpisah, Soemarsono
selaku kuasa hukum dokter Moestijab dan PT Surabaya Eye Clinic (Klinik
Mata Surabaya) membenarkan pihaknya telah berupaya untuk menjalankan
putusan kasasi tersebut, namun angka ganti rugi yang ditawarkan belum di
setujui oleh pihak Tatok Poerwanto. "Memang
benar, tapi belum disetujui dan saya masih menunggu, kalau memang tidak
ada titik temu, maka kami akan melakukan upaya hukum PK," katanya.
Saat
ditanya apakah upaya PK yang akan ditempuh tidak menghalangi proses
eksekusi?, Soemarsono menyerahkan kepada pihak pengadilan. "Semua yang memutuskan adalah pengadilan, dan kami akan terima apapun putusannya nanti," pungkasnya.
Untuk
diketahui, dugaan malpraktik yang menimpa Tatok ini berawal saat
dirinya mendapat perawatan medis atas penyakit katarak yang dideritanya
di Surabaya Eye Clinic pada 28 April 2016 dan ditangani oleh dokter
Moestijab. Usai operasi, Tatok justru merasakan nyeri dimatanya, namun
dokter Moestidjab malah mengatakan bahwa kondisi tersebut wajar. Beberapa
waktu berlalu, ternyata kondisi mata Tatok kian parah. Oleh dokter
Moestidjab, Tatok disarankan kembali menjalani operasi di Rumah Sakit
Graha Amerta, Surabaya.
Pihak keluarga mulai
curiga saat dokter Moestidjab hanya menugaskan asistennya untuk
menyampaikan hasil operasi kepada pihak keluarga. Kepada keluarga,
asistennya mengatakan bahwa operasi tidak dapat dilanjutkan karena
adanya pendarahan dan peralatan kurang canggih. Hal itu
dinilai keluarga sangat kontradiksi karena tidak sesuai dengan yang
dilihatnya di Internet, yang mendeklarasikan seolah-olah fasilitas
pelayanan kesehatan yang dimiliki canggih dan terlengkap di Indonesia
Timur.
Kemudian dokter Moestidjab merujuk Tatok
agar segera berobat ke Singapura. Ironisnya, ketika sampai di
Singapura, lokasi yang disarankan dokter Moestidjab tenyata tidak layak.
Keluarga pun akhirnya memutuskan membawa Tatok ke Singapore National
Eye Centre Hospital di Singapura.
Hasil
keterangan dari Singapore National Eye Centre Hospital itulah yang
akhirnya membuat keluarga sadar bahwa Tatok telah menjadi korban
malpraktik dokter Moestidjab. Rekam medis dari Singapore National Eye
Centre menjelaskan bahwa kondisi mata Tatok sudah tidak bisa ditangani
lagi karena kesalahan saat operasi pertama yang dilakukan dokter
Moestijab. (Ban)