Surabaya, Newsweek - Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta dimintai pendapatnya pada sidang perkara investasi Medium Term Note (MTN) dengan terdakwa Lim Victory dan Annie Halim.
Dalam keterangannya, ahli pidana menyebut terjadi error in persona dalam perkara tersebut. Chairul Huda, ahli pidana dari Universitas
Muhammadiyah dihadirkan tim kuasa hukum terdakwa pada sidang di
Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu (18/5/2022).
Sebelum
dimintai pendapatnya, tim kuasa hukum terlebih dulu membuat ilustrasi.
“Ada peristiwa perusahaan A mengeluarkan MTN dan kemudian terjadi gagal
bayar. Bagaimana pertanggungjawaban dari ilustrasi tersebut?” tanya
Supriyadi, salah satu kuasa hukum terdakwa.
Atas pertanyaan tersebut, Chairul Huda
menjelaskan bahwa dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak
mengenal pertanggungjawaban korporasi. “Pada KUHP kita
pertanggungjawaban hanya pada orang perorangan,” katanya.
Menurutnya, dalam kejahatan korporasi maka
yang dimintai pertanggungjawaban adalah pengurus, direksi, komisaris
yang turut campur secara langsung. “Jadi harus ada keterlibatan langsung
dalam tindak pidana tersebut,” terang ahli hukum pidana yang pernah
menjadi ahli pada praperadilan penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan.
Ia menjelaskan, orang yang tidak pernah
berhubungan langsung dengan investor tidak bisa dimintai
pertanggungjawaban. “Jadi harus ditentukan dulu siapa yang berhubungan
langsung dengan investor. Kan mereka yang menjanjikan dan menawarkan,”
jelasnya.
Lebih tegas lagi Chairul Huda menyebutkan,
dalam perkara tersebut telah terjadi error in persona. “Jadi tanpa ada
mereka (orang yang berhubungan langsung dengan investor), maka mustahil
mengkonstruksikan hal tersebut menjadi tindak pidana. Jadi itu namanya
error in persona,” tegasnya.
Chairul Huda juga mengutip buku dari Profesor
George P Fletcher terkait pertanggungjawaban dalam tindak pidana. “Saya
mengutip buku Profesor George P Fletcher berjudul Basic Consept of
Criminal Law dinyatakan ada tiga alasan yang menyebabkan peserta tindak
pidana dapat lebih dulu dituntut daripada pelaku utama tindak pidana
yakni pertama kalau pelaku (utama) meninggal dunia. Kedua kalau ada
halangan hukum seperti alasan diplomatik, gangguan jiwa. Ketiga kalau
(pelaku) penyertanya kabur. Jadi pertama yang harus didudukan diadili ya
yang pertama kali berhubungan, menawarkan dan menjanjikan,” tegasnya.
Usai sidang, Supriyadi, kuasa hukum terdakwa
sepakat dengan pendapat Chairul Huda yang menyebut telah terjadi error
in persona. Ia menyebut error in persona juga telah dituangkan dalam
materi eksepsi yang diajukan pada sidang sebelumnya. “Kita ya
berpendapat seperti itu (error in persona) di eksepsi. Jadi bukan orang
ini (terdakwa) yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban,” paparnya.
Seperti
diberitakan sebelumnya, kedua terdakwa didakwa melakukan dugaan
penipuan investasi Medium Team Note (MTN) PT Berkat Berkat Bumi Citra
dengan total kerugian Rp 13,2 miliar. Kedua terdakwa didakwa pasal 378
KUHP jo pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, pasal 46 ayat (1) jo ayat (2) UU RI
Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU RI Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, dan pasal 4 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Ban)