Surabaya, Newsweek - Mantan Kepala PPATK Dr. Yunus Husein SH.,
LL.M sekaligus ahli Perbankan dihadirkan terdakwa Lim Victory Halim dan
Annie Halim dalam kasus gagal bayar Medium Term Note (MTN) Milenium
sebesar Rp 13,2 Miliar.
Dalam sidang, ahli memberikan
keterangan perbedaan antara surat sanggup dengan simpanan dana
masyarakat. Menurut ahli MTN adalah surat sanggup, dimana penerbitannya
diatur dalam Pasal 174-177 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). "Sebagai
surat sanggup, MTN penerbitannya tanpa harus ada ijin atau persetujuan
dari OJK," katanya di ruang sidang Kartika 1 Pengadilan Negeri (PN)
Surabaya. Rabu (27/4/2022).
Diterangkan ahli,
sebagai surat sanggup, MTN mempunyai karakteristik sebagai surat
berharga yang bisa dipindahtangankan. Sebab surat sanggup lahir
berdasarkan adanya perjanjian antara penerbit dan pemegang surat
berharga," terangya
Sementara besarnya bunga
dalam surat sanggup, papar ahli tergantung persetujuan dari para pihak
dengan tidak ada batasan maksimum sama sekali. "Bunga
dalam surat sanggup lahir dari pinjaman antara penerbit dan investor.
Pengertian bunga dalam surat sanggup bukan berarti menunjukkan bahwa
surat sanggup itu merupakan simpanan dana masyarakat," paparnya.
Dihadapan
majelis hakim, ahli juga memastikan bahwa resiko surat sanggup seperti
MTN adalah wanprestasi atau uang investor hilang akibat kerugian. "Yang mana kesemuanya dapat diselesaikan secara keperdataan, perdamaian, gugatan, atau perdamaian," tandasnya.
Usai
sidang, Yunus kembali menegaskan bahwa produk investasi MTN tidak perlu
izin dari OJK. Ia menyebut kasus investasi MTN ini sama dengan kasus
industri di Jakarta. "Dalam keterangan ahli OJK
pada kasus industri di Jakarta yang sama dengan kasus MTN ini menyebut
sama sekali tidak perlu izin OJK," jelasnya.
Menurutnya, kalau pun harus ada izin OJK dan kemudian izin tersebut dilanggar hal itu hanya administratif. "Tidak
ada dipidana, sehingga ini perdata. Misalnya, bapak hutang sama saya,
kemudian bapak beri surat sanggup, saya sanggup bayar tanggal sekian.
Kalau gak bisa bayar ini namanya wanprestasi,” terang Yunus.
Diakhir
keterangannya kepada awak media Yunus mengutip surat edaran Mahkamah
Agung (SEMA) nomor 7 tahun 2012 yang menurutnya dalam poin 4 disebutkan
'jika suatu perkara pidana yang di dalamnya mengandung ikatan
perjanjian, penyelesaiannya harus masuk ke ranah perdata'. Sementara
itu, Supriadi, kuasa hukum kedua terdakwa sepakat dengan keterangan
Yunus di muka persidangan. "Bahwa ini ranah perdata,” katanya. (Ban)