SURABAYA, NEWSWEEK - Sidang Undang-undang perlindungan
konsumen dengan terdakwa Stephanus Setyabudi, Direktur PT Papan Utama
Indonesia dinilai banyak kejanggalan. Hal itu diungkapkan oleh Erick
Ibrahim Wijayanto, kuasa hukum Suryandaru selaku korban.
Menurut
Erick kejanggalan itu terlihat saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Gede
Willy Pramana saat membacakan tuntutan pada terdakwa Stephanus Setyabudi
pada tanggal 30 Desember 2021 lalu. Sidang yang awalnya dipimpin oleh
ketua majelis hakim Suparno tiba-tiba diganti olah ketua majelis lain
dan sidang dengan agenda tuntutan tersebut tetap dilanjutkan.
"Kami
(kuasa hukum pelapor) merasa ada yang janggal dari pemberian tuntutan
terdakwa hanya 2 bulan, dari awal persidangan agenda tuntutan ini
ditunda karena jaksa penuntut umum belum siap dengan tuntutannya sampai
dengan pada persidangan selanjutnya. Ketidakhadiran ketua majelis hakim
Suparno, sehingga persidangan ditunda esoknya kembali dan puncaknya
disaat esoknya persidangan pembacaan tuntutan oleh JPU baik hakim
Suparno maupun hakim Erentua Damanik tidak terlihat memimpin jalannya
sidang dengan agenda tuntutan terhadap terdakwa Stephanus Setyabudi
namun Persidangan tersebut tetap dilanjutkan dengan diketuai oleh
Majelis Hakim yang lain”ungkap Erick usai mengikuti persidangan dengan
agenda pembacaan pledoi di ruang Garuda 2 Pengadilan Negeri (PN)
Surabaya, Kamis (6/1/2021).
Atas kejanggalan
itu, lanjut Erick akan melaporkan hal itu ke Komisi Yudisial dan Badan
Pengawasan MA RI. Dengan harapan agar Majelis Hakim khususnya pemeriksa
perkara terdakwa Stephanus Setyabudi pada saat pengambilan putusan
perkara ini lebih independen dan mengedepankan Fakta Persidangan.
"Kami
mewakili korban (Pak Suryandaru) yang merupakan salah satu owner unit
yang merupakan korban serupa dari 278 orang pemilik unit agar
mendapatkan keadilan dari hakim dan Stephanus Setyabudi diputuskan
hukuman setimpal dengan perbuatannya”pungkasnya.
Untuk
diketahui, dalam perkara ini, terdakwa sebagai Direktur dari PT Papan
Utama Indonesia mulai mengerjakan proyek pembangunan kondotel The Eden
Kuta di Kuta, Badung, Bali pada 2009. Setelah masterplan pembangunan
siap, kemudian PT Papan Utama Indonesia mengajukan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) yang telah disetujui dan diterbitkan oleh Dinas Cipta
Karya pada Desember 2009.
Setelah IMB terbit,
PT Papan Utama Indonesia menggandeng PT Prambanan Dwipaka untuk proses
pembangunan kondotel The Eden Kuta. Pembangunan disesuaikan dengan
masterplan dengan beberapa tipe diantaranya, Deluxe Studio seluas 30
meter persegi, Executive Studio seluas 45 meter persegi, dan Suite Room
seluas 60 meter persegi. Namun saat terdakwa mempromosikan penjualan
unit kondotel, konsep brosur dibuat seakan-memiliki luas yang
sebenarnya. Setelah melihat brosur tersebut, para saksi membeli unit kondotel The Eden Kuta dengan tipe Deluxe Studio.
Namun
saat saksi mengukur luas unit kondotel tersebut diketahui bahwa luas
tidak sesuai seperti yang tertera pada brosur yaitu seluas 30 meter
persegi. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 8 ayat (1) huruf f jo Pasal 62 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen. (Ban)