SURABAYA - Guntual dan Tutik Rahayu terdakwa kasus ITE kembali Walkout dalam
persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin
(27/9/2021). Meskipun demikian Jaksa Penuntut Umum (JPU) Guntur Arief
Witjaksono tetap membacakan surat dakwaan dengan dihadiri penasihat
hukum kedua terdakwa.
Dihadapan
majelis hakim yang diketuai Darwanto, JPU Arief Witjaksono dalam
dakwaannya menyatakan kedua terdakwa telah melakukan, dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan mentransmisikan atau membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan dokumen elektronik yang memiliki
muatan penghinaan atau pencemaran nama baik.
"Atas
perbutanya kedua terdakwa di dakwa Pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27 ayat
(3) Undang – undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Undang – undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi Transaksi Elektronik Jo Pasal 55 ayat (1) Ke – 1
KUHP,"kata Jaksa Guntur yang bertugas di Kejaksaan Negeri Sidoarjo.
Usai
persidangan, Rommel Sihole selaku penasihat hukum mengatakan, bahwa
kliennya saat hakim membacakan identitasnya langsung keluar dari
persidangan atau Walkout. Namun pihaknya tetap mengikuti persidangan
dengan alasan menghormati persidangan. "kedua
terdakwa tadi meninggalkan persidangan saat hakim membacakan identitas.
Namun saya selaku penasihat hukum tetap melanjutkan persidangan, karena
menghormari marwah peradilan,"kata Rommel.
Saat
ditanya soal alasan kedua terdakwa meninggalkan persidangan, Rommel
mengatakan bahwa menurut kliennya dakwaan yang disusun oleh jaksa
tersebut cacat formal. Dengan alasan yang melaporkan bukan Ketua
Pengadilan Negeri Sidoarjo melainkan sekretaris PN Sidoarjo.
"Sesungguhnya
yang menjadi pelapor dalam perkara ini adalah lembaga Pengadilan Negeri
Sidoarjo. Tentunya sebagai lembaga yang mewakili ya Ketua Pengadilan
Negeri Sidoarjo bukan sekretaris PN Sidoarjo. Kalau berdasarkan Judicial
review terhadap UU ITE maka yang melapor harus yang bersangkutan
langsung. Itu yang menurut kami dakwaan jaksa cacat formalnya,"terang
Rommel.
Terpisah,
terdakwa Guntual sekaligus advokat ini saat dikonfirmasi terkait
Walkout dalam persidangan dirinya mengatakan bahwa perkara yang
menyeratnya ke Pengadilan tidak sesuai dalam aturan KUHPidana dimana
perkara yang disangkakan kepada dirinya adalah UU ITE pasal 27 ayat 3.
"Itukan
muatannya pencemaran nama baik dan fitnah, terhadap perbuatan kami yang
kami lakukan kalau kami bersalah sebagai pejuang kebenaran kami tidak
keberatan dalam hal ini. Tetapi yang menjadi persoalan tidak sesuai
dengan unsur pidananya. Namanya fitnah itu harus ada namanya yang
disebutkan. Yang kami protes itu peradilan negara. Yang jadi pertanyaan?
yang jadi pelapornya adalah ketua pengadilan. Itupun ketua Pengadilan
Tidak pernah di BAP dan itu sudah cacat formil. Kami menolak secara
hukum. Sesuai pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
50/PUU-VI/2008 jadi lembaga tidak boleh malaporkan
masyarakat,"terangnya.
Untuk
diketahui, dalam dakwaa dijelaskan kronologi itu berawal saat terdakwa
Guntual dan Tutik Rahayu hadir dalam sidang di Ruang Sidang Utama pada
Pengadilan Negeri Sidoarjo sebagai korbam dalam perkara tindak pidana
pelanggaran Undang – undang Perbankan yang dilakukan oleh The Rima dan
Djoni Harsono.
Kedua terdakwa
meresa tidak puas atas putusan oleh Majelis Hakim dan melakukan protes
dengan cara menjelek – jelekan institusi Pengadilan dengan kalimat
“HARUS MELAWAN, JANGAN PERCAYA PENGADILAN YANG KAYAK GINI MODELNYA”,
“BUBAR PENGADILAN, HAKIM BISA DIBELI”, “HAKIM KENA SOGOK” dan
“HAKIM KENA SUAP” hingga menimbulkan keributan.
Tak sampai disitu kedua terdakwa juga mengunggah status dimedia sosial Facebook miliknya dengan kalimat.
Pengadilan
yang sedianya sebagai tempat mencari keadilan, justru menjadi sarang
mafia hukum dan keadiadilan yang dilegalkan oleh konstitusi, sehingga
masyarakat percari keadilan menjadi korbannya.
Undang
– undang dengan pasal berlapis dibuat sebagai tolok ukur untuk
menetukan bentuk kesalahan bagi satu pihak dan pelindung bagi pihak yang
benar, justru bisa diputar balikan oleh mafia hukum kalau tidak menyuap
Hakim yang dibayar mahal oleh negara dan dipercaya sebagai wakil TUHAN,
untuk menguji dan mengadili guna mengungkap fakta sesungguhnya
melindungi yang benar, menghukum yang salah, ternyata dengan kekuasaan
palu bisa menyedupkan fakta, sehingga kalau tidak menyuap yang benar
bisa disalahkan dan kalau mau menyuap hakim, yg salah menjadi
dibenarkan.
Hukum macam apa ini,
untuk pengadilan negara, untuk apapula UU dibuat dan diperdebatkan,
kalau ujung – ujung tergantung penilaian hakim yg sudah kena suap dan
sogok.
Setiap perkara adalah
proyek bagi aparat hukum yang sudah digaji oleh negara pakai uang
rakyat, tapi tidak bekerja untuk keadilan masyarakat. Kalau
sudah seperti kenyataannya masyarakat seharusnya sudah sadar dan
bangkit melawanatas kelakuan hakim yg selama ini telah banyak merampas
hak dan martabat masyarakat(rakyat).
Mari
kita ganti tahapan pengadilan negara mendahulukan pengadilan
alternatif, setiap perkara, baik pidana maupun perdata dan perkara
lainnya, penyelesaiannya harus diselesaikan terlebih dahulu proses
Dialog, Musyawarah (secara adat sesuai daera) dengan hasil putusan
berdasarkan kesepakatan.
Setelah
upaya damai dengan Restorative Justice (pemulihan keadilan) tidak bisa
dicapai, barulah dilanjutkan dengan proser hukum Negara. Sementara
terdakwa Tutik juga mengunggah status di Facebook miliknya, dengan
tambahan tulisan “Ngeri... Korban tidak punya uang sulit cari keadilan
di Pengadilan” dan yang kedua bertuliskan “Putusan bisa
‘diperjualbelikan’”.
Selain itu
terdakwa juga menshare video dengan durasi 03:41 (tiga menit empat
puluh satu detik) dengan judul Viral bobroknya pengadilan negeri
Indonesia! Tidak ada keadilan bagi korban yang menyuap hakim yaitu
keduanya mengungkapkan kegundahan / keprihatinan. (Ban)