SURABAYA - Henock Setiawan selaku Dirut (Direktur Utama) PT Papua Putra Mandiri melalui kuasa hukumnya Ir Eduard Rudy Suharto SH, MH selaku Direkrur Bejana Law Firm bersama Nyoman Yudha Subastiyan SH, Fendi Septi Riyanto SH, MH meminta agar Presiden Joko Widodo memperingatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tak patuh hukum dalam hal ini PT Asuransi Jasa Indonesia(Jasindo) lantaran tak kunjung juga melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) tertanggal 31 juli 2013. Selain PT Jasindo ada tiga perusahaan lain yang bandel terhadap putusan MA, mereka adala PT Viktoria Internusa Perkasa, PT Vinici Inti Lines dan PT Gemilang Bahtera Utama.
"Jadi putusan MA itu sudah lebih dari tujuh tahun dan sudah berkekuatan hukum tetap. Tapi para terhukum belum juga membayar segala kewajibannya sesuai putusan MA tersebut," ujar Eduard Rudy pada Koran Newsweek,selasa(16/2/2021)
Lebih lanjut advokat senior asal Surabaya ini menyatakan, dengan tidak segera dilaksanakannya putusan MA tersebut maka akan menjadi presiden buruk di era pandemi ini, bila BUMN mempersulit dunia usaha, dengan tidak patuh terhadap putusan MA. "Bagaimana rakyat Indonesia pada umumnya dan juga pelaku dunia usaha mau percaya kepada pemerintah, sementara BUMN nya sendiri tidak patuh dan taat hukum bahkan mengabaikannya," kritik Eduard.
Dengan adanya putusan MA yang sudah bersifat final tersebut, Eduard juga menghimbau agar pihak terkait segera menghentikan operasional sementara pada para pihak yang terhukum yakni PT Asuransi Jasa Indonesia, PT Viktoria Internusa Perkasa, PT Vinici inti Lines dan PT Gemilang Bahtera Utama sebagai bentuk tanggung jawab dan patuh atas putusan peradilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
"Bilamana hal tersebut di abaikan, maka klien kami selaku pihak yang dirugikan , akan menempuh langkah hukum lebih lanjut, dengan melakukan upaya gugatan kepada penyelenggara pemerintahan, terkait lalainya keempat perseroan terbatas tersebut, dalam menjalankan putusan Makahmah Agung.
Bahkan kami tidak segan - segan akan memohon kepada Bapak Presiden Jokowi ataupun Mengadu ke DPR RI, agar segera melakukan evaluasi, atas ketidakpatuhan BUMN terhadap sebuah putusan peradilan yang sudah incracht," beber Eduard.
Perlu diketahui, perkara ini berawal dari penggugat selaku Direktur PT Papua Putra Mandiri yang bergerak dibidang kontraktor / perdagangan umum. Bahwa penggugat telah memperoleh kepercayaan dari Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Bina Marga/Balai Besar Pelaksanaan jalan Nasional yaitu Satuan Kerja Non Vertikal tertentu Pembangunan Jalan dan Jembatan Sorong - Mega (MYC) dari tangal 22 Mei 2009 sampai dengan tanggal 30 September.
"Proyek ini bukanlah yang pertama kali, sebab klien kami sudah diberikan kepercayaan untuk pembangunan jalan dan jembatan (fasilitas umum) di Papua," ujar Eduard saat ditemui di Surabaya, Selasa (16/2/2021).
Guna melaksanakan pembangunan jalan tersebut membutuhkan material dan alat-alat pendukung. Salah satu pendukung /material untuk pembangunan jalan tersebut di atas adalah berupa batu split, dan kebetulan karena batu split yang ada didaerah papua khususnya di daerah Sorong kualitasnya kurang baik untuk pengaspalan/pengerasan maka penggugat membeli batu split ke daerah lain yang kualitasnya bagus yaitu Palu, Sulawesi Tengah. Penggugat membeli batu split di Palu, Sulawesi Tengah sebanyak 2.000 meter kubik yaitu sebesar Rp450.000.000.00 (empat ratus lima puluh juta rupiah ) Dan batu split tersebut untuk sampai ke Sorong Penggugat membutuhkan angkutan/tambang.
Bahwa untuk menjamin kepastian hukum mengenai pengangkutan batu split tersebut dari Palu sampai ke tujuan yaitu Sorong, antara Penggugat dan tergugat l membuat perjanjian yakni harus mengantarkan batu split sebanyak 2000 meter kubik ke tempat tujuan yang telah ditentukan yaitu dari Palu ke Sorong dari tanggal 11 Juli 2009 (berangkat dari Palu) sampai dengan 19-20 Juli 2009 (tiba di Sorong) sekitar 8 hari perjalanan dengan sewa tambat sebesar Rp500.000.00(lima ratus juta rupiah ) yang telah dibayar Penggugat sebesar Rp375.000.000.00 (tiga ratus tujuh lima juta rupiah) dan sisanya sebesar Rp125.000.000.00 (seratus dua puluh lima juta rupiah) akan dibayar setelah batu split tiba di Sorong Papua.
"Apabila Tergugat l mengalami keterlambatan /mengingkari perjanjian tersebut diatas, maka sesuai kesepakatan Tergugat l dikenakan denda sebesar Rp15.000.000.00 (lima bilas juta rupiah)/harinya yang ditanda tangani pada hari Rabu tanggal 1 Juli 2009," ujarnya.
Selain itu, penggugat juga mengansuransikan ke PT Jasindo apabila batu tersebut mengalami kerusakan, hilang dan total loss only, dan sebagainya maka PT Jasindo membayar kerugian /kewajiban pertanggungan tersebut kepada pengugugat sebesar Rp1.000.000.000.00.
Masalah timbul ketika dalam pelaksanaannya pengantaran batu split tersebut tak dikirimkan dengan alasan kapal Tug Boat Jaya dan Tongkang Arena 189 terdampar karena cuaca buruk. "Penggugat telah berulang kali minta kalau tidak bisa mengirim batu split tersebut maka Penggugat minta dikembalikan saja uang tambang dan harga batu penggugat dari para Tergugat, namun tidak pernah dihiraukan," ujarnya.
Sampai akhirnya proyek yang dikerjakan penggugat pun dihentikan karena diputus oleh pihak instansi terkait. Atas hal tersebut, MA akhirnya mengabulkan permohonan penggugat untuk sebagian yakni membayar ganti rugi yang dialami penggugat. Namun oleh para terhukum diabaikan. (Ban)