Surabaya- Semakin mendekati hari pencoblosan pada Pilkada Kota Surabaya 9 Desember mendatang, elektabilitas pasangan calon Eri Cahyadi dan Armudji terus meninggalkan pesaingnya, Machfud Arifin dan Mujiaman.
Survei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 11-18 November menyebutkan, Eri-Armudji meraih elektabilitas (tingkat keterpilihan) 48,5 persen, sedangkan Machfud-Mujiaman 37,3 persen. Artinya, ada selisih dua digit, tepatnya sekitar 11,2 persen.
Pengamat politik UIN Sunan Ampel Andri Arianto mengatakan, wajar jika elektabilitas Eri Cahyadi melesat melebihi Macfud Arifin. Hal ini karena secara kualitas personal Eri lebih disukai warga ketimbang Machfud.
Buktinya, meski secara popularitas Eri dan Machfud relatif seimbang, yaitu masing-masing 81 persen dan 80 persen, tingkat kedisukaan Eri lebih besar yaitu 71 persen. Sedangkan Machfud hanya 66 persen.
“Sikap santun Eri menjadi daya tarik bagi warga. Positioning Eri sudah tepat, yaitu santun. Sedangkan positioning Machfud cenderung agresif, rupanya itu malah tidak disukai warga,” ujar Andri ketika dihubungi, Selasa (23/11/2020).
Menurut Andri, rentang waktu survei SMRC pada 11-18 November digelar seusai debat perdana pada 4 November, sehingga memberi preferensi kepada warga tentang kualitas calon selama debat.
"Artinya, usai debat orang lebih menyukai Eri karena beberapa alasan," ungkap Andri
Pertama, lanjut Andri, masyarakat yang melihat debat publik lebih memilih Eri-Armudji. Sebab, dalam memaparkan visi dan misinya, Eri-Armudji lebih detail menyampaikan gagasan dan mudah dipahami. Sementara Macfud Arifin dan Mujiaman lebih banyak menyerang secara emosional.
"Jadi kesannya arogan," ujar Andri.
Kedua, faktor dugaan money politics. Saat ini di media sosial dan media ramai adanya dugaan penyalahgunaan paket bantuan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang digunakan untuk kampanye Machfud-Mujiaman.
"Ini justru merugikan si paslon. Persoalannya, masyakat Surabaya sudah cerdas. Masyakat justru akan mengganggap bahwa Paslon yang melakukan money politics telah melakukan kecurangan dan tidak layak menjadi pemimpin, karena belum memimpin saja sudah mau curang. Masyarakat pasti akan tetap menerima bantuan dari money politica, tetapi belum tentu memilihnya. Ini akan menjadi bumerang bagi si paslon,” jelas Andri. ( Ham)