Surabaya– Pelabelan warna radar Covid-19, yang awalnya hitam dan berubah merah pekat untuk wilayah Kota Surabaya, berakibat meresahkan masyarakat Surabaya, khususnya Tim Gugus Tugas Kota Surabaya.
Ketua DPRD Kota Surabaya Adi Sutarwijono mengatakan, bahwa dirinya baru mengetahui dari media jika ternyata pelabelan warna merah hati (pekat) tidak ada acuan hukumnya.
“Oh, warna tidak perlu jadi masalah,” ucap Adi Sutarwijono kepada media ini, menanggapi jawaban dari dr. Joni Wahyuhadi Koordinator Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur, Jumat (5/06/2020).
Adi Sutarwijono spontan menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Joni Wahyuhadi yang menyatakan bahwa pelabelan warna hitam tidak perlu dipermasalahkan.
“Saya membaca itu lewat media. Terkait situasi Surabaya di masa pendemi Covid-19. Kami jadi tahu tentang label warna hitam itu. Oh, jadi gak perlu jadi masalah. Tiwas kami terkejut, ketika suatu malam Surabaya dinyatakan hitam pekat. Besoknya berubah, Surabaya dinyatakan merah pekat,” paparnya.
Masih Adi Sutarwijono, ia mengaku masih tidak mengerti, ketika di satu sisi dr. Joni menyematkan label warna hitam untuk wilayah Surabaya. Tetapi di sisi lain, tak lama berselang, Kepala Dinas Infokom Provinsi Jatim, Pak Benny, mengatakan Surabaya masuk zona merah tua.
“Lho, ini kok tidak sama pemberian labelnya, bahkan ada kesan berbantah, mengoreksi,” ujarnya.
Adi Sutarwijono mengaku terlanjur berdebat kencang tentang dasar hukum pemberian warna hitam untuk Surabaya, yang ternyata tidak ada dasar hukumnya.
“Ternyata dari sana dinyatakan, warna itu ‘tidak perlu dipermasalahkan,” tuturnya sembari tersenyum.
Masih Adi Sutarwijono, sebenarnya, dokter Joni juga perlu merasakan hati khalayak ramai dengan stigma warna. Apalagi Surabaya dilabel hitam, yang diliput luas oleh media massa, dan disiarkan di televisi lokal dan nasional.
“Sehingga orang di luar Surabaya, langsung atau tidak, juga turut membaca dan melihat, dan akhirnya turut menilai situasi di Surabaya,” bebernya.
Sebelumnya dokter Joni sempat menyatakan bahwa, Surabaya bisa menjadi Wuhan, yang mengalami lebih dulu pendemi Covid-19.
"Publik membayangkan, situasi Wuhan yang mencekam. Apakah Surabaya akan seperti itu?,” tanya Adi Sutarwijono.
Ketua DPRD Surabaya ini menjelaskan bahwa, banyak perdebatan terjadi. Termasuk meningkatnya rasa takut dan kuwatir yang justru berpotensi menurunkan daya imun, ini yang perlu dihindari di masa pendemi Covid-19.
Ia mengaku sepakat dengan pakar komunikasi FISIP Unair, Pak Suko Widodo, yang berpendapat pemberian stigma warna harus hati-hati. Perlu pertimbangan. Perlu kebijaksanaan.
“Pemberian warna perlu mempertimbangkan hati khalayak ramai. Masyarakat Surabaya. Bahkan di luar Surabaya,” imbuhnya.
Dia menambahkan, bagaimanapun sebuah penilaian kesehatan, dengan standar yang ekspert dan profesional sekalipun. Ketika, dilempar ke ruang publik, maka akan memunculkan reaksi Pro dan kontra.
“Artinya, penilaian itu tidak hadir di ruang hampa. Ada aspek-aspek sosial, ekonomi dan politik di ruang publik yang bekerja intens dan saling berkaitan,” ungkapnya.
Pernyataan itu, lanjut Adi Sutarwijono, sehubungan dengan berlangsunya kebijakan publik, taruhlah PSBB, yang mengatur kepentingan umum. Banyak orang berharap PSBB segera berakhir.
“Kita semua sepakat, dalam situasi pendemi Covid-19 harus bekerja sama, gotong royong, bahu membahu. Saling bersinergi, antara unit-unit kerja pemerintahan juga dengan seluruh masyarakat. Agar kita semua: bisa melewati pendemi Covid-19 dengan baik,” tambahnya. ( Ham)