Surabaya – Dari tahun
ke tahun Kualitas udara di Kota Surabaya terus membaik
Bahkan, untuk mengukur
kualitas udara itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menggunakan beberapa alat
yang sudah ber-Standar Nasional Indonesia (SNI).
Kepala Dinas
Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya Agus Eko Supiadi mengatakan dalam rangka
mengukur kualitas udara, Pemkot Surabaya menggunakan standart yang berlaku
nasional, yaitu ISPU (Indeks Standart Pencemaran Udara). Hal ini juga sesuai
dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor: KEP 45/MENLH/1997 tentang
indeks standart pencemaran udara.
“Data ISPU itu
didapatkan dari alat Stasiun Pemantaui Kualitas Udara Ambien (SPKU) Automatis.
Di Surabaya, alat ini dipasang di tiga tempat, satu diletakkan di Wonorejo,
kedua di Kebonsari dan yang ketiga bantuan dari Kementerian Lingkungan Hidup
diletakkan di Tandes,” papar Agus Eko di ruang kerjanya, Kamis (27/2/2020).
Agus Eko, SPKU menjelaskan,
di Wonorejo dan Kebonsari dapat memantau parameter iklim, yaitu arah dan
kecepatan angin, kelembaban udara, suhu udara, dan global radiasi. Selain itu,
kedua SPKU ini dapat pula memantau parameter kimia udara seperti NO, NO2, NOx,
O3, SO2, CO, PM10.
“Nah, parameter kimia
udara itu yang menghasilkan data ISPU. Biasanya ISPU ini juga dipajang di
monitor-monitor yang ada di pinggir jalan,” tandasnya.
Sedangkan SPKU Tandes
yang merupakan bantuan dari Kementerian Lingkungan Hidup, alatnya lebih
lengkap, selain memantau parameter iklim, alat ini juga memantau parameter
kimia udara seperti NO, NO2, NOx, O3, SO2, CO, PM10, dan PM 2,5. Alat ini masih
terbilang baru dibanding SPKU Wonorejo dan Kebonsari.
Selain SPKU Automatis,
Pemkot Surabaya juga menggunakan alat uji portable yang selalu keliling ke
berbagai titik di Kota Surabaya. Alat ini untuk menguji PM 10, PM 5, PM 2,5,
dan PM 1. Bahkan, alat ini juga bisa menguji NO, CO, SO2, dan O3.
“Lokasi-lokasi SPKU
automatis dan alat uji portable ini sudah ada panduannya dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan juga sudah SNI. Jadi, semua yang kami lakukan sudah sesuai
peraturan yang ada di Indonesia. Itu artinya, ISPU yang dihasilkan valid,”
ujarnya.
Adapun data ISPU dari
tahun ke tahun, menunjukkan tren membaik. Pada tahun 2017, data baik 131 dan
data sedang 216 sehingga data sehatnya 347. Lalu tahun 2018, data baik 81 dan
data sedang 283 sehingga data sehatnya 364. Kemudian tahun 2019, data baik 143 dan
data sedang 221 sehingga data sehatnya 364.
“Itu data total, bukan
tiap hari. Itu artinya, dari tahun ke tahun menunjukkan tren membaik,” ucapnya.
Agus Eko memastikan
data hasil pemantauan kualitas udara tahunan itu, diolah dan dikalkulasikan ke
dalam rumus Indeks Kualitas Udara (IKU). Alat ukur sederhana ini berupa angka
untuk menginformasikan kualitas ambient suatu daerah.
Di Surabaya, pada
tahun 2017 data IKU targetnya 84,25 dan berhasil mencapai 90,26, tahun 2018
targetnya 84,50 dan berhasil mencapai 90,27, lalu tahun 2019 targetnya 84,75
dan berhasil mencapai 90,30.
“Berdasarkan data IKU
itu, berarti ada peningkatan kualitas udara di Surabaya. Dan ternyata, data IKU
kita lebih tinggi dari provinsi dan nasional,” imbuhnya.
Agus Eko menambahkan,
peningkatan kualitas udara itu dipengaruhi oleh berbagai hal, diantaranya
karena Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Surabaya terus bertambah dari tahun ke
tahun. Bahkan hingga tahun 2018, RTH di Surabaya sudah mencapai 7.290,53 hektar atau sama dengan 21,79 persen
dari luas wilayah Kota Surabaya.
“Selain itu, ada pula
program green building, manajemen transportasi yang semakin bagus serta rutin
melakukan uji emisi, hemat energy dan memperbanyak penggunaan solar cell.
Berbagai program itulah yang kemudian mampu mencegah polusi udara di Surabaya,
hingga akhirnya kualitas udara terus membaik,” imbuhnya.
Sementara itu, Kepala
Laboratorium Pengendalian Pencemaran Udara dan Perubahan Iklim Departemen
Teknik Lingkungan ITS Dr. Eng Arie Dipareza Syafei memastikan bahwa penggunaan
ISPU untuk memantau kualitas udara di Surabaya sudah tepat. Sebab, itu yang
berlaku nasional dan sudah ada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI.
“Jadi, pemkot sudah
tepat dan sudah benar menggunakan ISPU itu, dan sudah benar pula tidak
menggunakan AirVisual karena Kementerian LH pun tidak mengacu kepada
AirVisual,” ujar Arie.
Arie juga sangat
mengapresiasi Pemkot Surabaya yang telah konsisten meningkatkan RTH setiap
tahunnya. Menurutnya, strategi itu merupakan adaptasi dan mitigasi untuk
menurunkan dampak pencemaran udara. “Itu sudah sangat bagus untuk mengurangi
pencemaran. Konsistensi ini yang harus terus dijaga,” tambahnya. ( Ham )