SURABAYA - Persidangan kasus pemalsuan ‘Akta Nikah
Palsu’ yang menjerat pasangan suami istri (Pasutri) Henry J Gunawan dan Iuneke Anggraini
kembali bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dengan agenda pemeriksaan
kedua terdakwa. “Hari ini pemeriksaan saudara,” kata Ketua majelis hakim Dwi
Purwadi saat membuka persidangan di ruang sidang Garuda 1, Selasa (10/12/2019).
Dari pantauan di ruang sidang, hakim dan
jaksa membeberkan alat bukti perbuatan kedua terdakwa dalam kasus pemalsuan
keterangan pernikahannya yang justru diungkap dari eksepsi tim penasehat
hukumnya. Salah satunya terkait foto-foto pernikahan adat kedua terdakwa yang
dilangsungkan tanpa adanya tokoh adat Tionghoa.
“Itu adat Chinese Pak,” jawab Henry.“Tidak
libatkan kepala adat ?, Kalo upacara adat itu ada kepala adatnya atau Kepala
sukunya,” tanya Mashuri Effendi selaku hakim anggota pada kedua terdakwa.
“Ya mau adat apa kek, ini Indonesia. Anda
orang Indonesia kan. Ya mau adat Chinese mau adat apa itu oke. Kalo adat Batak
yang saya tahu. Dapat Gelar juga ada upacaranya,” timpal hakim Mashuri Effendi
yang disambut sikap diam dari terdakwa Henry J Gunawan.
Sedangkan saat ditanya hakim Mashuri Effendi
mengapa tidak melangsungkan pernikahan secara hukum, Terdakwa Iuneke mengaku
saat itu beda agama. “Saya Kristen dan dia Budha, setelah itu saya
masuk agama Budha saat menikah secara agama Budha,” jawab Iuneke.
Sedangkan waktu ditanya ketika menandatangani
kedua akta otentik tersebut, apakah kedua terdakwa sudah melakukan pernikahan
secara agama Budha, Terdakwa Iuneke mengaku belum. “Belum, waktu tanda tangan akta itu, baru
menikahnya secara agama 2011,” ungkap Iuneke.
Selain masalah pernikahan adat, Jaksa
Penuntut Umum (JPU) Ali Prakoso juga mengungkap soal Kartu Keluarga (KK) milik
kedua terdakwa yang juga dijadikan alat bukti saat tim penasehat hukumnya
mengajukan eksepsi.
Diungkapkan JPU Ali Prakoso, Dalam KK yang
diterbitkan Kantor Dispendukcapil Tahun 2007 tersebut, Terdakwa Henry tertulis
sebagai kepala keluarga, sedangkan Iuneke tertulis sebagai istri dan tinggal di
Jalan Panglima Sudirman Nomor 55 Surabaya.
“Ini di KK tahun 2007, disini ditunjukkan Pak
Henry sebagai kepala keluarga dan Bu Iuneke sebagai istri. Benar ya di KK tahun
2007 ini tanda tangan bapak. Jadi di 2007 pun di KK bapak sudah menyatakan
sebagai kepala keluarga Henry dan istri Iuneke,” tanya JPU Ali Prakoso pada
terdakwa Henry.
“Tidak ingat,” jawab terdakwa Henry.
Namun saat ditanya soal tanda tangan dalam KK
tersebut, Terdakwa Henry membenarkanya. “Ya, kurang lebih iya,” kata terdakwa
Henry.
Persidangan perkara pemalsuan keterangan ini
akan kembali dilanjutkan pada Kamis (12/12/2019) dengan agenda pembacaan surat
tuntutan dari JPU Ali Praksoo.
“Pembelaan saudara hari Senin tanggal 16.
Pemeriksaan saudara sudah selesai. Sidang dinyatakan ditutup,” kata hakim Dwi
Purwadi menutup persidangan.
Terpisah, JPU Ali Prakoso mengatakan, kasus
yang menyeret Bos PT Gala Bumi Perkasa (GBP) dan istrinya sebagai pesakitan ini
semakin gamblang atas bukti KK yang diungkapnya saat pemeriksaan kedua
terdakwa.
“Di KK itu sudah jelas, mereka itu mengaku
sebagai suami istri. KK tersebut tahun 2007 ketika mereka masih tinggal di
Jalan Panglima Sudirman Nomor 55 Surabaya,” terangnya saat dikonfirmasi usai
persidangan.
Dengan KK tersebut, JPU Ali Prakoso meyakini
Notaris Atika Ashiblie juga terkecoh dengan dokumen yang diserahkan terdakwa
saat membuat dua akta otentik berupa pengakuan hutang dan personal guarantee.
“Jadi notaris pun mungkin terkecoh dengan
data data atau dokumen yang diserahkan mereka. Mereka juga ngomong KTP nya
sudah suami istri, KK yang dilampirkan dalam eksepsi mereka, Henry selaku
suami, Iuneke selaku istri,” pungkasnya.
Untuk diketahui kronologis perkara keterangan
pernikahan palsu ini dimulai pada Juli 2010 ketika Henry J Gunawan dan Iuneke
Anggraini mengaku sebagai pasangan suami istri (Pasutri) saat membuat 2 akta
perjanjian pengakuan hutang dan personal guarantee. Namun faktanya, mereka baru
resmi menikah secara agama Budha di Vihara Buddhayana Surabaya pada 8 November
2011 yang dinikahkan oleh pendeta Shakaya Putra Soemarno Sapoetra serta baru
dicatat di Dispenduk Capil pada 9 November 2011. (ban)