Surabaya- Pemerintah
Kota (Pemkot) Surabaya menunjukkan komitmennya dalam pencegahan anak kerdil
(Stunting). Upaya itu ditunjukkan melalui penyelenggaraan kegiatan komitmen
bersama percepatan pencegahan anak kerdil di Balai Pemuda, Rabu (18/12/2019).
Di awal acara,
Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemerintah Kota Surabaya, bersama instansi
dan organisasi lainnya, diantaranya Kementerian Agama, Persi Provinsi Jawa
Timur dan Surabaya, BPOM, IDI kota Surabaya, Ikatan Bidan Indonesia kota
Surabaya, Persagi Kota Surabaya, dan Forum Kota Sehat TPPKK Kota Surabaya.
Mereka melakukan penandatanganan komitmen bersama untuk percepatan pencegahan
anak kerdil (Stunting).
Pelaksanaan komitmen
dan percepatan pencegahan stunting dihadiri sekitar 1.200 peserta, meliputi Tim
Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) Pusat dan Jatim, Perwakilan
Perguruan Tinggi, Pimpinan rumah sakit, 900 kader, undangan, kepala puskesmas,
serta Kepala Organisasi Perangkat Daerah, Paguyuban Pos PAUD terpadu, serta
perwakilan Dampingan Program 1.000 HPK.
Dalam sambutannya,
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini meminta kepada para undangan yang hadir agar
bekerja keras mencegah anak stunting. Menurutnya, pencegahan stunting ini
penting dilakukan karena mempengaruhi kecerdasan anak.
“Biasanya, kalau gizinya
kurang, kecerdasannya juga kurang. Bagaimana mungkin kita bisa bersaing kalau
kecerdasan kurang,” papar Wali Kota Risma.
Wali Kota Risma
menambahkan, dampak anak stunting, tak hanya mempengaruhi kecerdasan anak,
kepercayaan dirinya juga kurang. Untuk itu, ia meminta semua organisasi
pemerintah daerah, kader dan masyarakat harus bergerak bersama. “Kalau ada
warganya yang hamil dipantau, dan saya harap puskesmas jemput bola, untuk
mengawasi terus. Diingatkan untuk rutin periksa,” ungkapnya.
Ia mengingatkan para
lurah agar, memperhatikan permakanan, terutama untuk warga kurang mampu. Bagi
ibu hamil, ia meminta untuk mendapatkan permakanan tambahan dari puskesmas.
“Sebetulnya (pemberian makanan - Red) kita sudah lakukan untuk Ibu hamil dan
warga miskin,” jelasnya.
Kepala Dinas Kesehatan
Kota Surabaya, Febria Rahmanita menyampaikan bahwa, jumlah anak di Kota
Surabaya dalam kondisi stunting di tahun 2019 sekitar 15 ribu. Jumlah tersebut
menurun, dibanding tahun 2018 yang mencapai 16 ribu anak.
“Penyebabnya itu
kekurangan gizi kronis, kemudian disertai penyakit lainnya. Pada saat masih
bayi, bila ukuran kurang dari 47 centimeter, kita harus curiga, dan segera
didampaingi agar tidak menjadi stunting,” katanya.
Febria mengatakan, untuk
mencegah anak stunting dimulai di masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Pasalnya, masa tersebut merupakan masa kritis, dimana anak balita
membutuhkan gizi dan perilaku hidup sehat lingkungan sekitar.
Namun, sebelumnya bagi
calon pengantin mendapatkan pendampingan dari puskesmas, hinggga mendapatkan
sertifikat layak nikah. “Tetapi terkadang untuk mendampingi ibu hamil, kadang
dari suami menolak. Namun, kita terus berusaha,” lanjutnya.
Sejak tahun 2016,
sekitar 60 persen ibu hamil mendapatkan pendampingan. Anak-anak yang lolos
pendampingan mendapatkan sertifikasi lolos 1.000 HPK. Bagi anak balita yang
diindikasi stunting, pemerintah kota berupaya menggenjot pemberian vitamin,
seperti Minyak Ikan untuk menunjang gizinya. “Mudah-mudahan jumlah (stunting)
terus menurun,” tandas Febria..
Pasca pelaksanaan
komitmmen dan kampanye Percepatan pencegahan anak stunting di Balai Pemuda,
Pemkot Surabaya akan melakukan kampanye di tingkat kecamatan, sekaligus
pembentukan Satgas Stunting. Satgas-satgas nantinya bertugas menghilangkan gizi
buruk, kemudian mendampingi ibu hamil. “Jadi, programnya diantaranya ada 1.000
HPK, kelompok ASI, Pemberian Makanan Tambahan (PMT dan vitamin di PAUD,”
jelasnya.
Perwakilan Tim
Percepatan Pencegahan Stunting dari Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres),
Saputera mengatakan bahwa Kota Surabaya merupakan salah satu kota prioritas
dalam program percepatan pencegahan Stunting. Program Percepatan Pencegahan
Anak Kerdil (Stunting) secara nasional dilaksanakan di tahun 2018 – 2024. Di
tahun 2020, sebanyak 260 kabupaten/kota yang menjadi prioritas nasional.
“Di 1.000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK) sangat penting asupan gizi, kemudian kesehatannya. Jadi
pemantauan mulai hamil, melahirkan sampai anak usai 2 tahun,” imbuhnya.
Saputera menyampaikan,
untuk penanganan stunting, kabupaten/kota mendapatkan Bantuan Operasional
Kesehatan (BOK) yang nilainya sekitar Rp. 750 juta. Ia mengapresiasi program
pemerintah kota dalam penanganan stunting, hingga pembentukan satgas stunting
di lingkungan pemerintah kota.
“Saya baru mendengar
di kelurahan ada anggaran untuk penanganan stunting. Ini luar biasa. Saya pikir
terobosan ini, belum ada di kabupaten kota lainnya,” tambahnya. ( Ham )