Surabaya- Seruan UNICEF,
dalam sebuah laporan global baru tentang anak-anak, makanan dan gizi.
Menjelaskan bahwa banyak anak yang menderita, akibat dari asupan makan yang
buruk dan sistem pangan, yang gagal membawa manfaat bagi mereka.
Laporan bertajuk State
of the World’s Children 2019: Children, food and nutrition menemukan
bahwa, setidaknya 1 dari 3 anak balita secara global – atau lebih dari 200 juta
- mengalami kekurangan dan kelebihan gizi.
Hampir 2 dari 3 anak
berusia antara enam bulan hingga dua tahun, tidak diberi asupan makanan, yang
mendukung pertumbuhan dan juga perkembangan otak yang tumbuh pesat pada masa
tersebut.
Hal ini menjadikan
mereka berisiko mengalami perkembangan otak, yang tidak optimal. Lambat dalam
belajar, kekebalan yang rendah, peningkatan infeksi dan, dalam banyak kasus,
kematian.
Menurut UNICEF, dalam laporan
ini, memberikan kajian paling komprehensif tentang masalah gizi pada anak di
abad ke-21 di seluruh dunia. Laporan State of the World Children menggambarkan
tiga masalah gizi. Kekurangan gizi,
kelaparan tersembunyi yang disebabkan oleh, kekurangan zat gizi mikro penting.
Dan kelebihan berat badan di antara, anak-anak di bawah usia lima tahun.
Di menambahkan bahwa, di
Indonesia, indika0tor dan target terkait kelebihan. Maupun, kekurangan gizi,
sudah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Pemerintah juga, telah menunjukkan komitmen politik, yang kuat dalam mengatasi
beban gizi ganda, untuk anak perempuan dan laki-laki.
Angka-angka terbaru yang tersedia menunjukkan
bahwa di Indonesia
• Lebih dari 7 juta anak
balita menderita stunting, atau pendek untuk usia mereka.
• Lebih dari 2 juta anak
balita kurus
• 2 juta anak balita
kelebihan berat badan atau obesitas.
• Sekitar 1 dari 4
remaja menderita anemia, kemungkinan besar, karena kekurangan vitamin dan
mineral esensial seperti zat besi, asam folat dan vitamin A.
Laporan ini
memperingatkan bahwa, praktik pemberian makan bayi dan anak yang tidak optimal,
dimulai sejak awal kehidupan seorang anak. Seiring bertambahnya usia, paparan
terhadap makanan tidak sehat terhadap anak menjadi hal yang mengkhawatirkan.
Sebagian besar didorong
oleh pemasaran dan iklan yang tidak tepat, banyaknya pangan olahan, tidak hanya
di perkotaan tetapi juga di daerah terpencil, serta meningkatnya akses pada
makanan cepat saji dan minuman berpemanis tinggi.
Akibatnya, tingkat
kelebihan berat badan dan obesitas pada anak dan remaja meningkat di seluruh
dunia. Secara global, dari tahun 2000 hingga 2016, proporsi anak-anak yang
kelebihan berat badan antara 5 dan 19 tahun, bertambah dua kali lipat dari 1
setiap 10 anak menjadi hampir 1 dari setiap 5 anak.
Di Indonesia, lebih dari
sepuluh persen, remaja kelebihan berat badan, sedangkan pada orang dewasa, 1
dari 3 orang mengalami kelebihan berat badan.
Data yang tersedia
menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga remaja Indonesia mengkonsumsi buah
kurang dari sekali sehari setiap bulannya. Lebih dari setengah remaja tidak
mengkonsumsi sarapan di rumah, dan sebagian besar remaja melewatkan sarapan.
Selain itu, remaja
Indonesia tidak seaktif, seperti seharusnya di usia mereka. Sekitar setengah
dari remaja diklasifikasikan sebagai kurang bergerak.
Laporan State of the World's Children, tahun
ini menampilkan dua remaja Indonesia
Rafsi, siswa sekolah
menengah yang secara sadar berusaha, untuk tetap sehat dengan makan makanan
seimbang dan berolahraga secara teratur dan Zahfa, yang menghadapi tantangan ,untuk
menyeimbangkan kegiatan sekolah dengan olahraga.
Laporan tersebut juga
mencatat bahwa, perubahan iklim telah menyebabkan krisis pangan yang parah.
Kekeringan misalnya, bertanggung jawab atas 80 persen kerusakan dan kerugian di
bidang pertanian. Dan secara dramatis mengubah jenis ketersediaan pangan, untuk
anak-anak dan keluarga, serta kualitas dan harga pangan tersebut.
Untuk mengatasi krisis
masalah gizi dalam segala bentuknya, UNICEF mengeluarkan seruan mendesak kepada
pemerintah, sektor swasta, donor, orang tua, keluarga dan pelaku bisnis untuk
membantu anak-anak tumbuh sehat dengan:
1. Memberdayakan
keluarga, anak-anak dan remaja untuk mengkonsumsi makanan bergizi, termasuk
melalui peningkatan pendidikan gizi dan pelaksanaan undang-undang - seperti
cukai minuman berpemanis - untuk mengurangi permintaan akan makanan yang tidak
sehat.
2. Mendorong penyedia
makanan untuk melakukan hal yang benar untuk anak-anak, dengan memberikan
insentif atas penyediaan makanan sehat, mudah dan terjangkau.
3. Mengembangkan
lingkungan pangan yang sehat untuk anak-anak dan remaja dengan menggunakan
pendekatan yang terbukti, seperti pelabelan yang akurat dan mudah dipahami, dan
kontrol yang lebih kuat pada pemasaran makanan yang tidak sehat.
4. Memobilisasi sistem
pendukung - kesehatan, air dan sanitasi, pendidikan dan perlindungan sosial -
untuk meningkatkan gizi untuk semua anak.