Surabaya NewsWeek- Penulis
buku berjudul "Menjemput Masa Depan Trem Surabaya", Abdul Hakim
menilai sistem transportasi massal cepat berbasis jalan rel menjadi salah satu
solusi mengatasi permasalahan kemacetan di kota-kota besar di dunia, khususnya
di Kota Surabaya.
"Jika baru-baru
ini DKI Jakarta sudah mewujudkan sistem transportasi transit berupa MRT (Mass
Rapid Transit), maka setidaknya Surabaya juga demikian. Tapi kenyataannya
Surabaya sampai sekarang belum bisa," kata Hakim.
Hanya saja, lanjut
dia, keinginan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini untuk mewujudkan moda
transportasi massal cepat berupa Trem di Kota Surabaya itu kandas. Risma
mengakui gagal untuk merealisasikan trem karena masa jabatannya tinggal dua
tahun lagi, sedangkan untuk konstruksi angkutan massal itu membutuh waktu dua
tahun. Padahal Risma sendiri sudah menggagas trem itu sejak 2010.
Trem sebelumnya sudah
sempat masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
yang rencananya akan didanai oleh pemerintah pusat. Namun, pembangunan proyek
trem itu terkendala karena tersendatnya aliran dana dari pusat.
Pemkot Surabaya juga
sudah sempat membuka opsi untuk melakukan pendanaan dengan sistem tender
melibatkan swasta. Namun, lagi-lagi ada kendala terkait kelembagaan yang bisa
melakukan upaya tender. Terkait gagal terealisasi proyek tersebut, Risma pun
menempuh upaya lain yakni penyediaan moda transportasi Bus Suroboyo yang kini
sudah beroperasi.
"Bedanya Bus
Suroboyo bukan termasuk transportasi berbasis jalan rel sehingga masih belum bebas
hambatan saat di jalan raya," kata penulis buku dwilogi Tri Rismaharini
ini.
Memang diakui untuk
mewujudkan semua itu tidak mudah karena terkendala birokrasi yang rumit.
"Maka di buku
trem, saya sebut transportasi adalah politik. Persoalan trem tak kunjung bisa
direalisasikan, meski semua persiapan baik kajian, sarana dan prasarana,
infrastruktur dan lainnya selesai dilakukan. Namun pembiayaan masih menunggu
kebijakan pusat," kata Hakim yang juga jurnalis di Kantor Berita Antara
ini.
Menurut Hakim, secara
politik anggaran, Surabaya cukup mampu untuk membangun transportasi massal
cepat itu. Hanya saja, semua itu terbentur dengan sejumlah aturan yang ada di
pemerintah pusat.
Atas kondisi itu, ada
anggapan adanya ketidakadilan dalam pembangunan transportasi massal di kota
metropolitan di Indonesia, khususnya Surabaya. Anggapan ketidakadilan ini
bermula dari mencermati progres pembangunan proyek MRT dan LRT di DKI Jakarta
yang berjalan mulus.
Namun tidak demikian
halnya di Surabaya. Padahal kedua kota itu (Jakarta dan Surabaya) adalah
sama-sama kota besar metropolitan di Indonesia.
Apalagi biaya MRT
Jakarta jauh lebih mahal dari pada trem di Surabaya. Jika MRT/LRT biaya awalnya
JPY¥ 133 miliar (Rp16,3 triliun) namun pada fase kedua (dari Bundaran HI
sampai Kota) meningkat menjadi JPY¥ 199 miliar (Rp24,9 triliun), maka trem di
Surabaya hanya Rp2,4 triliun.
Bahkan informasi yang
diperoleh anggota Komisi C DPRD Surabaya dari Kementerian Perhubungan terungkap
APBN 2017 saat itu tidak mengalokasikan anggaran untuk membangun trem di
Surabaya.
Hal ini dikarenakan
pemerintah pusat tengah berkonsentrasi membangun infrastruktur dan LRT di
Palembang, menjelang pelaksanaan Asean Games 2018 di daerah tersebut. Anggaran
sekitar Rp4 triliun tersedot ke sana, sehingga ada kemungkinan pembangunan trem
tidak bisa dimulai pada 2017.
Meski demikian,
persiapan angkutan massal cepat (AMC) di Surabaya sudah digagas cukup lama,
sehingga pemerintah pusat tidak bisa begitu saja mengalihkan
pengalokasian anggaran untuk kepentingan lain. Apalagi persoalan kemacetan di
Surabaya yang merupakan kota kedua terbesar di Indonesia sudah menjadi momok
setiap harinya.
Jika hal itu atas
dasar pertimbangan kemacetan di Jakarta yang lebih krodit, pun saat ini
Surabaya memiliki persoalan sama. Lantas, kenapa Surabaya seolah-olah
dipersulit dalam hal regulasi? Apakah karena terkendala pendanaan, dimana AMC
Surabaya memakai APBN murni? Jika pun terkendala pendanaan APBN, bukankah
masih ada alternatif lain dengan mengandeng pihak swasta? Tentunya jika ada
kemauan pasti ada jalan.
Tentunya, kata Hakim,
hal ini menjadi pekerjaan rumah sekaligus tantangan buat para Calon Wali Kota
Surabaya pengganti Risma mendatang untuk bisa mewujudkannya.
"Kita akan lihat
siapa di antara cawali-cawali mendatang yang sanggup mewujudkan transportasi massal
cepat di Surabaya," katanya.
Dipilihnya
transportasi massa Trem oleh Wali Kota Surabaya lantaran ada semangat
untuk menghidupkan kembali sejarah Trem di Surabaya yang dulu sempat ada pada
saat Pemerintahan Hindia Belanda.
"Ini bukan
sekedar menghidupkan kembali sejarah Trem yang pernah dimiliki kota Surabaya,
tapi Juga sebagai transportasi yang mampu mengurai kemacetan dan sebagai ikon
destinasi kota Surabaya," kata Hakim yang juga penulis buku dwilogi Tri
Rismaharini ini.
Kedepan kata Hakim, transportasi
Trem akan sangat diminati warga kota Surabaya dan transportasi yang rama
lingkungan, baik dari sisi keselamatan maupun kemanan penumpang. Proyek Trem
menurutnya perlu diwujudkan, apalagi Jakarta sudah memiliki MRT.
"Surabaya perlu
mewujudkan tranportasi berbasil rel dalam menyongsong perkembangan transportasi
massa di tanah air. Ini adalah harapan warga Surabaya," katanya.( Ham )