JAKARTA - Pembina LPKAN (Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara) Indonesia Dr. Wibisono, SH, MH mengatakan fenomena jerat OTT KPK yang akhir-akhir ini marak menimpa aparat negara, akibat Pengawasan Kinerja Aparatur Negara yang lemah,baik di Kementrian dan Sejumlah Pemerintah Daerah yang sarat praktek Korupsi, "akhir akhir ini saya sangat prihatin begitu banyak Aparat Daerah terkena OTT KPK, dan yang terakhir menimpa Ketum PPP Romy" ,ujar Wibi menyatakan ke media di jakarta (22/3/2019).
Menurut (Pengamat Politik) Pradipa Yoedhanegara OTT Romy ada kemungkinan disebabkan oleh faktor mahalnya biaya politik di tanah air,serta faktor mahalnya biaya mendukung petahana saat ini,apa benar?, tentunya banyak faktor diluar itu,tapi yang terpenting adalah faktor Nafsu pelaku korupsi adalah untuk memperkaya diri yang keblinger oleh Kekuasaan, papar Wibi.
Sementara itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyesalkan mengapa masih banyak terjadi praktik korupsi yang dipelopori oleh wakil rakyat seperti kepala daerah dan pengurus partai politik.
Lembaga antirasuah memandang perilaku ini tidak bisa dibiarkan. Harus diubah secepatnya, karena korupsi tentu merugikan masyarakat dan negara ini.
Sebanyak 104 kepala daerah di Indonesia terjerat kasus korupsi dan dipidanakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Paling banyak kepala daerah yang terjerat korupsi adalah pada 2018 yakni dengan jumlah 29 kepala daerah. Demikian menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang 2004-2018.
LPKAN menilai potensi korupsi tahun ini lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Sebab, ada gelaran Pilkada Serentak 2018 di 171 daerah dan pemilu legislatif - pemilihan presiden 2019.
Menurut wibi anggaran daerah rawan disalahgunakan untuk memenuhi hasrat politik para kepala daerah yang maju kembali di Pilkada 2018 yang lalu.
KPK tidak pernah didesain untuk memberantas korupsi seluruh Indonesia, Namun KPK didesain untuk lebih menangani kasus-kasus korupsi besar, karena sumber daya manusia yang ada di KPK terbatas. Selain itu, KPK juga tidak memiliki struktur organisasi yang bisa menjangkau semua lapisan masyarakat.
Hal ini berbeda dengan kepolisian dan kejaksaan yang punya struktur hingga ke tingkat bawah, misalnya hingga tingkat polsek untuk kepolisian, dan kejari untuk kejaksaan,papar Wibi.
Politik berbiaya tinggi dalam penyelenggaraan pilkada serentak cenderung mendorong orang lebih berani korupsi. Seharusnya 2018-2019 menjadi titik balik perpolitikan Indonesia dengan mendapat kepala-kepala daerah yang memiliki integritas dan tidak korup untuk memajukan daerah mereka. Tahun 2018-2019 ini akan rawan pelanggaran administrasi atau mal admistrasi.
Apalagi fokus orang–orang tertuju pada perebutan kekuasaan di daerah-daerah. Anggaran daerah rawan disalahgunakan oleh kepala daerah atau birokrasi untuk kepentingan politik. Apalagi bila kepala daerah tersebut ikut maju kembali Pilkada 2018. Namun, bila kepala daerahnya tidak maju lagi, dukungan anggaran daerah juga bisa diberikan untuk kepentingan calon pimpinan yang didukung partainya.
Mereka berpotensi sekali lagi menggunakan anggaran daerah secara sembrono untuk menggapai kekuasaan. Menjelang Pemilu 2019, suhu politik bakal semakin meningkat. Potensi korupsi diperkirakan juga bakal naik. Uang negara akan dimanfaatkan partai politik yang memiliki posisi di pemerintahan, serta memenangkan Pemilu 2019.
Harusnya pada pemilu tahun ini pengawasan untuk penyelenggara negara ditingkatkan, terutama dana kampanye pilpres yang pasti sangat besar,Calon Presiden (petahana) seharusnya cuti untuk kampanye agar tidak menggunakan Kekuasaannya dan fasilitas negara,pungkas Wibi. (red)