JAKARTA-Menjelang
debat pilpres 2019 kedua, Calon presiden nomor 02 Prabowo mengkritik
jumlah Utang yang membengkak,isu ini pernah dilontarkan oleh Prabowo
Subianto dan menyebut Sri Mulyani sebagai Menteri Pencetak Uang, ujar
pengamat Infrastruktur dan Pembina LPKAN (Lembaga Pengawas Kinerja
Aparatur Negara) Wibisono mengatakan ke media di jakarta.
Menurutnya
Utang Indonesia memang naik sangat signifikan secara rasio terhadap GDP
pada era pemerintahan Jokowi, menurut data Global Finance per Desember
2018, rasio utang Indonesia pada GDP sudah mendekati angka keramat 30%
(persen), tutur Wibi, panggilan akrabnya.
Menurut Gede Sandra,Peneliti
dari Lingkar Studi Perjuangan (LSP),mengatakan bahwa dalam rilis APBN
2019 (31 Oktober 2018), saya melihat pemerintah dalam hal ini Kemenkeu
telah melakukan penggelapan. Kalau penggelapan berarti alias perampok
berdasi di tubuh rezim semua Megah Proyek harus di audit,ujarnya
Saya
sebut penggelapan karena secara sengaja item pembayaran cicilan pokok
utang tidak dicantumkan dlm Belanja Pemerintah Pusat non-KL (poin 2 hal.
33). Yang dicantumkan Kemenkeu hanya item
(a) pembayaran bunga utang, (b) cadangan penanggulangan subsidi energi
(c) bencana NTB dan Sulteng
(d) cadangan pooling fund bencana.
Buktinya
terjadi ketidak sesuaian aljabar penjumlahan antara poin (2) Belanja
non-KL dengan item-itemnya a), b), c), dan d) pada semua kolom (Outlook
2018, RAPBN 2019, dan APBN 2019).
Ambil
contoh dikolom Outlook 2018. Di sana disebut Belanja non-KL sebesar Rp
640,2 Trilyun. Pembayaran bunga utang Rp 249,4 Trilyun, subsidi
energi Rp 163,5Trilyun, cadangan penanggulangan bencana NTB Sulteng
dan cadangan poling bencana Rp 0.
Seharusnya
penjumlahan item a + b + c + d = Rp 640,2 Trilyun. Tapi ternyata
penjumlahan item-item tersebut = Rp 249,4 Trilyun + Rp 163,5 Trilyun +
Rp 0 + Rp 0 = Rp 412,9 Trilyun. Terdapat kekurangan sebesar Rp 227,3
Trilyun.
Jadi
nilai Rp 227,3 trilyun ini seharusnya item apa di Belanja non-KL?
Kemenkeu harus menjelaskan. Kalau tidak ingin kami tuduh telah
menggelapkan angka. Jangan menghina intelektualitas kami, publik yang
berada di luar pemerintahan, jangan kira kami tidak mampu lakukan
perhitungan aljabar sederhana ini,kata peneliti senior ini.
Dia
menerangkan, seharusnya diperjelas saja bahwa Rp 227,3 trilyun itu
adalah item Pembayaran Cicilan Pokok Utang. Walaupun jumlah itu
sepertinya terlampau kecil karena berdasarkan Struktur Jatuh Tempo
Utang di website DJPPR disebutkan utang SBN yang jatuh tempo tahun 2018
sebesar Rp 278 Trilyun dan pinjaman jatuh tempo Rp 76 Trilyun, yg
bila dijumlahkan adalah Rp 355 Trilyun. Tolong diperjelas lagi kepada
publik, tandasnya
Apakah
Kemenkeu takut nanti bila diketahui publik, ternyata belanja APBN untuk
utang, meliputi pembayaran bunga utang dan cicilan pokok utang, menjadi
yang terbesar di APBN?, Karena bila dijumlahkan keduanya sebagai kewajiban utang (debt service), pembayaran bunga utang sebesar Rp
249,4 Trilyun dan cicilan pokok Rp 355 Trilyun, nilainya menjadi Rp
604,4 Trilyun utk APBN 2018. Atau anggaplah kita gunakan angka cicilan
pokok utang yang “digelapkan"saja, sebesar Rp 227,3 Trilyun, sehingga
total kewajiban utang menjadi Rp 476,7 Trilyun.
Jumlah
keduanya tetap jauh melebihi anggaran infrastruktur (Rp 410,4 triliun)
yang menjadi kebanggaan pemerintahan Presiden Jokowi. Artinya
prioritas APBN pemerintahan ini sebenarnya adalah *pembayaran kewajiban
utang*, bukan *infrastruktur*,pungkasnya