Surabaya
NewsWeek- Masalah Izin Pemakaian Tanah (IPT) atau biasa disebut “Surat Ijo”
dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Kota Surabaya No 16 Tahun 2014, tetang
pelepasan tanah aset Pemkot Surabaya. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya
berupaya, untuk menyelesaikan.
Namun, terkendala karena adanya regulasi tentang
Barang Milik Daerah, sehingga pelepasan IPT harus patuh pada peraturan
pemerintah atau Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang mengatur
mengenai Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Asisten
Administrasi Umum Sekretariat Daerah Kota Surabaya Hidayat Syah mengatakan
regulasi surat Izin Pemakaian Tanah (IPT) atau biasa disebut “Surat Ijo” telah
diatur dan ditetapkan dalam Undang-Undang (UU). Pertama, UU No 1 Tahun 2004
Tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara (BMN), Permendagri No 19 Tahun 2016 Tentang
Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. Keempat, Peraturan Daerah No 13 Tahun
2010 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah sebagaimana telah diubah
menjadi Perda No 2 Tahun 2013. Kelima, Peraturan Daerah No 16 tahun 2014
Tentang Pelepasan Tanah Aset Pemkot Surabaya. Keenam Peraturan Daerah Kota
Surabaya No 3 Tahun 2016 Tentang Izin Pemakaian Tanah.
“Izin
Pemakaian Tanah (IPT) ini terbit di 31 kecamatan di Kota Surabaya, dengan total
luasannya sekitar 8.928.252 meter persegi dan itu tersebar di beberapa daerah di
31 kecamatan (Surabaya),” paparnya, saat menggelar jumpa pers di Kantor Bagian
Humas Pemkot Surabaya, Kamis, (07/02/19).
Dia
mengatakan, sebelumnya Pemkot Surabaya telah memberikan solusi atas penanganan
masalah Izin Pemakaian Tanah. Mulai dari memberikan keringanan pembayaran IPT
atau keringanan di retribusi, pembebasan biaya retribusi untuk penggunaan
fasilitas umum seperti Balai RW dan Masjid, hingga memberikan solusi terkait
pelepasan izin pemakaian tanah, namun ada batasan maksimal sekitar 250 meter
persegi.
“Upaya-upaya
itu sudah kita tempuh, karena proses ini sudah banyak berjalan. Kita sama-sama
berupaya untuk maksimal membantu masyarakat Surabaya,” tandasnya.
Terlebih,
Pemkot Surabaya sebelumnya telah melakukan konsultasi ke berbagai pihak
termasuk Kemendagri, agar pelepasan tanah aset tidak dengan ganti rugi 100
persen. Namun, hal ini ditolak, karena pelepasan tanah aset harus patuh pada
Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2006 dan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007.
Aturan
itu, menyebutkan bahwa pelepasan hak atas ganti rugi dapat diproses dengan
pertimbangan menguntungkan daerah. Kedua, perhitungan perkiraan nilai tanah
yang dilepaskan dilakukan oleh penilai intern atau lembaga independen dengan
memperhatikan NJOP atau harga umum setempat.
Maria
Theresia Ekawati Rahayu Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT) menjelaskan,
pada prinsipnya pihaknya berupaya untuk menyelesaikan permasalahan atas
tuntutan masyarakat selaku pemegang IPT (Surat Ijo). Tentunya, upaya
penyelesaian yang dilakukan Pemkot Surabaya ini tidak bisa keluar dari
peraturan hukum yang berlaku.
“Sehingga
upaya-upaya yang sudah dilakukan Pemkot Surabaya itu menyesuaikan dengan
regulasi, baik itu di tingkat pusat maupun daerah,” ungkap Yayuk, panggilan
akrabnya Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Pemkot Surabaya.
Oleh
sebab itu, pihaknya telah merumuskan penyelesaian permasalahan itu di dalam
Peraturan Daerah No 16 Tahun 2014, yang sudah diatur bagaimana mekanisme
pelepasan tanah aset Pemkot Surabaya yang menjadi objek izin IPT. Jika tuntutan
masyarakat agar, para pemegang IPT itu dilepaskan secara cuma-cuma, tentunya
ini tidak sesuai dengan ketentuan hukum.
“Kami
berharap masyarakat tidak mudah untuk terpengaruh atas imbauan-imbauan atau
upaya-upaya yang melanggar ketentuan, karena sampai dengan saat ini,
peraturan-peraturan itu masih berlaku secara hukum. Artinya semuanya harus
patuh dengan ketentuan itu,” ujarnya.
Namun,
jika masyarakat pemegang IPT tidak patuh terhadap regulasi tersebut, pastinya
ada konsekuensinya yang harus mereka tanggung. Tapi, ia menegaskan Pemkot
Surabaya terus berupaya untuk menyelesaikan masalah IPT, namun tidak dengan
cara yang melanggar hukum. Di sisi lain, jika masyarakat enggan untuk melakukan
pembayaran retribusi IPT, hal ini akan berdampak pada pendapatan yang
seharusnya diterima dan menjadi pendapatan asli daerah.
“Konsekuensi
dari pendapatan retribusi ini adalah untuk kebutuhan pelaksanaan pembangunan
dan kembali lagi manfaatnya untuk masyarakat Kota Surabaya,” terangnya.
Ia
menambahkan Pemkot Surabaya tidak bisa serta-merta membatalkan Perda yang telah
berjalan, sebab proses pembatalan Perda harus melalui mekanisme hukum.
Disamping itu, Perda Tentang Pemungutan Retribusi Kekayaan Daerah, sebelumnya
sudah dilakukan pengujian oleh Mahkamah Agung (MA) dan itu telah dinyatakan
sah.
Menurut
dia, ada denda yang harus dibayarkan masyarakat jika, menunggak dalam melakukan
pembayaran IPT. Bahkan, Pemkot Surabaya berhak untuk melakukan pencabutan pemegang
IPT bagi mereka, yang tidak patuh terhadap regulasi tersebut.
“Kalau
IPTnya kita cabut, otomatis bangunan di atasnya harus dikosongkan. Cuman saat
ini Pemkot Surabaya masih memberlakukan denda kepada pemegang IPT,” katanya.
Asisten
Pemerintahan Sekretariat Daerah Kota Surabaya Yayuk Eko Agustin menyampaikan
terkait, adanya aksi-aksi penolakan yang dilakukan masyarakat terhadap
Peraturan Daerah No 13 Tahun 2010, ia mengimbau, agar masyarakat tidak mudah
terpengaruh, dengan upaya atau isu-isu yang bersifat melanggar hukum. Apalagi,
saat ini tengah memasuki tahun politik. “Kami berharap bahwa masyarakat
Surabaya tidak terpengaruh terhadap isu-isu ini,” harapnya.
Asisten
Pemerintahan ini menambahkan, sudah ada Judicial Review (hak
uji materil) tentang aturan-aturan itu. Bahkan, tahun 2015 pernah ada gugatan
yang dilayangkan ke Mahkamah Agung (MA) agar, dilakukan uji materi terhadap
Peraturan Daerah No 13 Tahun 2010, yang telah diubah menjadi Perda No 2 Tahun
2013 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.