SURABAYA-Ada
yang menarik dari persidangan kasus Sipoa dengan terdakwa Budi Santoso,
Ir. Klemens Sukarno Candra dan Aris Birawa yang digelar pada Senin
(4/2). Baik ahli pidana yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum, Dr. M. Sholehuddin, S.H., M.H, maupun ahli pidana yang dihadirkan
terdakwa Prof. Chairul Huda, SH, MH sama-sama berpendapat, bahwa perkara
yang dihadapi para terdakwa masuk ke dalam ranah hukum perdata.
Menurut
Dr. M. Sholehuddin, S.H., M.H, ahli pidana dari Universitas
Bhayanghkara Surabaya, peristiwa jual beli properti harus memenuhi
ketentuan mengenai persyaratan pengembang. Antara lain pengembang dapat
melakukan penjualan setelah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan,
yaitu; memiliki tanah dan ijin-ijin yang disyaratkan di dalam ketentuan
hukum dalam bisnis properti.
Menurutnya, apabila
belum ada serah terima unit apartemen yang dipasarkan dan juga belum
jatuh tempo penyerahan unit apartemen sebagaimana dalam perjanjian, maka
belum adanya serah terima unit apartemen tersebut tidak bisa disebut
sebagai tindak pidana penipuan. Sedangkan pengembalian dana konsumen
melalui cek adalah merupakan perbuatan hukum baru yang berbeda dengan
perbuatan hukum pemesanan apartemen. Pengembalian dana kepada konsumen
melalui cek adalah merupakan suatu kesepakatan baru, dimana kesepakatan
itu adalah merupakan perbuatan hukum keperdataan. “Jadi jika kesepakatan
mengenai pengembalian dana pemesanan kepada konsumen tidak
dilaksanakan, maka hal tersebut masuk ke dalam ranah wanprestasi”
ujarnya.
Menurut ahli Dr. M. Sholehuddin, S.H.,
M.H, cek pengembalian dana kepada para konsumen yang dikatakan cek
kosong adalah merupakan elemen dari perbuatan hukum keperdataan, berupa
kesepakatan. Bukan merupakan unsur dari delik penipuan. Apabila sejak
awal orang yang menyerahkan cek mengetahui dengan pasti sejak awal bahwa
cek yang diserahkannya itu tidak ada isinya, maka barulah tindakan
memberikan cek itu masuk ke dalam salah satu unsur delik penipuan berupa
perbuatan kepalsuan. Namun terpenuhinya “unsur perbuatan kepalsuan” itu
tidak membuat terpenuhinya delik penipuan karena harus dipenuhi unsur
delik berikutnya yaitu “unsur orang tergerak untuk menyerahkan barang,
atau membuat hutang, atau menghapuskan piutang”.
Menurut
ahli, dari dosen tetap Universitas Bhayangkara itu ada hubungan
kausalitas langsung antara unsur “memakai nama palsu atau martabat
palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan” dengan unsur
lain dalam tindak pidana penipuan yaitu “menggerakan orang menyerahkan
barang, memberi utang atau menghapus piutang”. Menurutnya dalam hal dana
konsumen yang dijanjikan dikembalikan melalui cek sudah dilakukan
pengembalian dan diterima oleh konsumen, maka mengenai pengembalian dana
konsumen itu adalah jelas merupakan ranah hukum keperdataan.
Sementara
itu ahli pidana yang dihadirkan oleh para terdakwa, Prof Chairul Huda,
SH, MH, staf pengajar dari Universitas Muhamadiyah yang juga staf ahli
Kapolri berpendapat tindak pidana penipuan memiliki unsur menggunakan
nama palsu, martabat palsu (kedudukan yang tidak sebenarnya) rangkaian
kebohongan atau tipu muslihat yang bertujuan untuk menggerakan orang
untuk menyerahkan barang, menghapuskan hutang atau memberikan piutang.
Menurut ahli, harus ada hubungan timbal balik antara unsur memakai nama
palsu atau martabat palsu, tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan
dengan unsur menggerakan orang untuk menyerahkan barang, memberi utang
atau menghapus piutang, karena kedua unsur ini penting dalam delik
penipuan. Dimana hubungan kausalitas antara kedua unsur tersebut adalah
karena korban menyerahkan barang dan menghapuskan piutang diakibatkan
karena nama palsu, keadaan palsu dan rangkaian kebohongan, apabila tidak
dapat dibuktikan adanya nama palsu, keadaan palsu, dan rangkaian
kebohongan itu maka tidak ada delik penipuan. Untuk dapat dikualifisir
sebuah perbuatan sebagai suatu delik pidana, maka rangkaian kebohongan
yang menggerakan penyerahan barang, dan menghapus piutang itu harus
sudah ada atau diketahui oleh di pelaku pada saat diucapkan, bukan
kemudian. Misalnya nama perusahaan tidak ada, kemudian barang yang
mau dijual tidak ada. Dalam perkara ini pengembang sudah memiliki tanah
dan perijinan. Namun belum pembangunan belum terlaksana. Dan ini adalah
wanprestasi dalam bidang keperdataan.
Menurut ahli
yang juga anggota Tim Perumus Sarana atau upaya penipuan itu secara
limitative ditentukan oleh undang-undang yaitu nama palsu, martabat
palsu (kedudukan yang tidak sebenarnya) rangkaian kebohongan atau tipu
muslihat. Dalam hal ini mengenai rangkaian kebohongan, yang dimaksud
rangkaian kebohongan adalah kata-kata bohong yang diucapkan berbeda dari
sebenarnya. Rangkaian kebohongan berbeda dengan janji, janji itu
bukanlah penipuan, sehingga kalau janji tidak ditepati/ingkar janji
bukan merupakan delik pidana. Dalam prinsip hukum perdata, tidak
memenuhi janji masuk ke dalam wanprestasi. Jadi apabila seseorang
berjanji untuk menyerahkan barang dan ternyata pada saat waktu yang
ditentukan tidak ditepati itu namanya wanprestasi bukan pidana penipuan.
Menurut
ahli, penipuan itu dilihat pada saat menggerakkan orang, atau dalam hal
ini sebelum jual beli dilakukan atau transaksi dilakukan, paling tidak
sebelum jual beli dilakukan, tidak bisa setelah peristiwa itu/setelah
transasksi dilakukan (post factum), kalau setelah transaksi dilakukan
disebut sebagai cidera janji bukan penipuan. Ada perbedaan yang
prinsipil antara cidera janji dengan penipuan. Penipuan yang dinilai
adalah fakta sebelum transaksi dilakukan. Sedangkan jika yang dinilai
adalah fakta setelah transaksi dilakukan adalah merupakan cidera janji.
“Jadi meskipun kemudian setelah transaksi selesai dilakukan, namun
barang yang diperjanjikan tidak jadi diserahkan, bukanlah merupakan
delik pidana penipuan, melainkan rumusan mengenai cidera janji di dalam
hukum keperdataan” ujarnya.
Menurut Prof Chairul
Huda, SH, MH, tipu muslihat itu harus ada sebelum transaksi. Apabila
penyerahan cek, adalah sebagai bentuk pengembalian uang, atas dasar
kesepakatan mengenai pembatalan jual beli, maka tidak terpenuhinya
pengembalian uang melalui penyerahan cek (cek kosong) bukanlah merupakan
tipu muslihat. Dimana cek kosong menjadi tipu muslihat, apabila cek itu
menjadi alat penggerak, yang mengakibatkan piutang korban menjadi
hapus, dimana penghapusan piutang itu dibuktikan dengan pernyataan
korban mengenai telah hapus piutang, kalau tidak bisa dicairkan itu
Namanya gagal bayar yang masuk ke ranah keperdataan. Mengenai unsur
hapusnya piutang dalam delik penipuan, harus dibuktikan dengan
pernyataan dari korban, bahwa piutang dari pelaku telah hapus. Sehingga
apabila di dalam perjanjian pembatalan dan kesepakatan pengembalian dana
ada klausula mengenai apabila tidak cair hak atas pemesanan tidak
hilang, maka tidak dapat dikatakan telah terpenuhi unsur mengakibatkan
hapusnya piutang, karena klausula perjanjian tersebut mengakibatkan
piutang tidak hapus karena tidak cairnya cek pengembalian dana, sehingga
tidak cairnya cek pengembalian dana bukan merupakan delik pidana
penipuan.
Menurut ahli, yang dimaksud di dalam penguasaan dalam delik
penggelapan adalah adanya penguasaan pada barang bergerak bukan karena
kejahatan. Sedangkan dalam hal peristiwa hukum jual beli, uang yang
dibayarkan oleh konsumen kepada penjual dalam sebuah transaksi jual
beli, telah beralih hak kepemilikannya kepada si penjual sehingga uang
tersebut bukan lagi menjadi milik si pembeli lagi, dimana jika atas jual
beli tersebut penjual gagal menyerahkan barang, yang terjadi bukanlah
delik pidana melainkan perbuatan inkar janji/wanprestasi. Ditambah lagi
dalam beberapa literature hukum, uang tidak dapat dikategorikan sebagai
barang bergerak, sehingga unsur mengenai penggelapan yaitu penguasaan
barang bergerak tidak terpenuhi.
Terkait adanya
barang-barang yang disita dalam perkara Sipoa menurut ahli, Pasal 39
KUHAP menyebutkan, yang dapat disita bertalian dengan delik pidana
adalah barang barang yang antara lain: barang yang diperoleh dari tindak
pidana, barang yang dihasilkan tindak pidana, dan barang yang digunakan
dalam tindak pidana, sehingga di luar dari ketentuan itu tidak bisa
digunakan sebagai barang bukti dan tidak bisa disita. Sehubungan dengan
penyitaan sebagaimana dimaksud di dalam pasal 39 KUHAP tersebut, perlu
diingat mengenai tujuan dari penerapan hukum pidana, bukan mengembalikan
kerugian korban. Dalam prinsip hukum pidana, hukum pidana itu bukan
ditujukan untuk mengembalikan kerugian dari korban, tetapi ganjaran atas
perbuatan pidana adalah hukuman sesuai ketetapan undang-undang, dimana
penyitaan seolah untuk mengganti kerugian korban, padahal di dalam hukum
pidana tidak ada yang namanya pidana ganti kerugian, jadi penyitaan
terhadap barang selain yang ditentukan di dalam pasal 39 KUHP adalah
tidak relevan. “Merujuk pada hal tersebut, dalam kaitan perkara ini,
barang bukti yang tidak relevan disita oleh penyidik harus dikembalikan
melalui penetapan pengadilan kepada para Terdakwa atau yang berhak” pungkasnya. (Ban)