Surabaya NewsWeek- Luluk Nur Hidayati, mantan akunting PT Gala
Bumi Perkasa (GBP) diperiksa sebagai saksi meringankan pada sidang kasus dugaan
penggelapan pembelian saham Gala Megah Invesment Joint Operation (GMI-JO).
Dalam sidang, Luluk membeberkan hasil audit laporan keuangan PT GBP yang
dilakukan oleh auditor independen dinyatakan Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Dalam keteranganya
sebagai saksi, Luluk mengatakan PT Gala Bumi Perkasa (GBP) tidak punya hutang
kepada PT GNS. Pernyataan ini menjawab pertanyaan Henry J. Gunawan terkait
catatan hutang dalam pembukuan. "Tidak ada," kata Luluk menjawab
pertanyaan Henry saat menjadi saksi pada sidang yang digelar di Pengadilan
Negeri (PN) Surabaya, Rabu (31/10/2018).
Lantas, Henry
melanjutkan pertanyaan apakah PT GNS sudah menyetorkan dana kepada PT GBP
sebesar Rp 60 miliar sesuai dalam akte. Atas pertanyaan ini Luluk menjawab
tidak ada. "Tidak ada setoran itu," jelasnya.
Keterangan Luluk
berlanjut bahwa dalam pembukuan tidak pernah tercacat keuntungan. Kemudian Luluk
menegaskan jika terdapat keuantungan dan kerugian maka akan ditanggung
bersama. "Kalau rugi akan ditanggung bersama," katanya.
Lebih jauh, Luluk
menjelaskan bahwa investasi proyek pembangunan Pasar Turi, awalnya PT GBP hanya
menggandeng Totok Lusida dan Turino Junaedy saja sebagai rekanan. Namun dalam
perjalanannya sebagian dari saham 51 persen milik PT GBP dibeli oleh PT GNS.
Sehingga komposisi saham PT GBP menjadi 25,5 persen dan saham PT GNS menjadi
25,5 persen.
“Pembagian saham antara PT GBP dengan PT GNS tersebut saya ketahui
dari notulen kesepakatan Maret 2010 dan akta nomor 18,” bebernya.
Luluk juga
membeberkan, alasan audit independen mencatat bahwa transaksi keuangan antara
PT GBP dengan PT GNS sebagai pengecualian. Padahal sesuai notulen kesepakatan,
PT GNS adalah sebagai salah satu pemegang saham dalam proyek pembangunan Pasar
Turi.
“Standar akutansi
memang tidak memperbolehkan adanya pengeluaran keuangan dengan rekanan yang
tidak ada korelasi hukumnya.” beber Luluk.
Pada sidang kali ini,
Agus Dwi Warsono, kuasa hukum Henry J Gunawan juga mengajukan permohonan kepada
majelis hakim agar Deby yang merupakan bagian keuangan PT GNS dihadirkan di
persidangan sebagai saksi.
“Kami mohon agar Deby dihadirkan sebagai saksi. Ini
diperlukan untuk menjawab keraguan jaksa penuntut umum terkait adanya aliran
keuangan yang masuk ke PT GNS,” tegas Agus kepada hakim Anne.
Usai persidangan,
Henry menambahkan bahwa dalam pembukuan tercatat pengeluaran kepada tercatat
pengeluaran kepada PT Podo Joyo Mashur sebesar Rp 58 miliar, Heng Hok Soey Rp
11 miliar dan kepada PT GNS sebesar Rp 10 miliar.
Bahkan, Henry
menyebutkan bahwa berdasarkan hasil audit, dana yang dikatakan untuk beli
material tersebut ternyata tidak terbukti. Menurut Henry, hal ini membuktikan
bahwa dalih setoran Rp 68 miliar sebagai Working Capital itu tidak benar karena
proyek belum dibangun.
Karena itu menurutnya,
dana tersebut menjadi kewajiban masing-masing perusahaan dan tidak boleh
dikenakan bunga.