Nur Alim MA.,S.Psi. (Sekjen IMM Malang Raya dan Mahasiswa S2 UMM)
|
Surabaya NewsWeek- Pilpres masih delapan bulan lagi, namun dua
capres-cawapres, yakni Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi telah bergerak cepat
untuk menarik simpati masyarakat agar memilih masing-masing pasangan. Partai
Politik juga tidak mau kalah, dengan cepat parpol telah menentukan calon mana
yang akan didukung maju sebagai pesiden pada priode 2019-2024.
Aksi saling sikut-menyikut pun tidak terelakkan lagi, berbagai
drama, isu, hoax dan semacamnya dipertontonkan selain
untuk menarik suara, juga untuk menjenggal suara lawan politik atau
menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada lawan seingga dia tidak terpilih di
ajang pesta lima tahunan itu.
Politik yang kerap kali menampilkan aksi sikut-menyikut dan jatuh
menjatuhkan adalah pemandangan yang lumrah bagi masyarakat di Indonesa.
Fenomena saling sikut-menyikut ini kalau dicermati bagaikan prilaku kepiting
yang tengah berada di dalam keranjang. Kalau kita pernah melihat penjual
kepiting di pasar, sekilas mungkin biasa-biasa saja, namun kalau kita
perhatikan dengan seksama, kepiting yang berada di dalam keranjang tidak pernah
kabur dari keranjang meskipun kepiting itu masih hidup. Mengapa?.
Jawabannya adalah ketika seekor kepiting mecoba untuk memanjat
keranjang maka kepiting lainnya akan mengait dan menjepit kepiting yang memanjat
tadi hingga jatuh lagi ke dalam keranjang. fenomena inilah yang dinamakan
dengan sindroma kepiting, di mana kepiting mengait kepiting lainnya yang
mencoba untuk keluar agar tetap beada di dalam keranjang. Pemandangan ini sama
dengan apa yang menjangkit elit politik kita hari ini. Karena keinginan besar
untuk berkuasa, kait-mengait dan jatuh-menjatuhkan lawan politik dilakukan agar
kekuasaan bisa ia dapatkan.
Sindroma kepiting ini juga disebut juga sebagai motivational gravity dalam ilmu Psikologi. motivational gravity memiliki pemaknaan yang mirip dengan
gaya gravitasi bumi yang selalu menarik ke bawah. Kalau dikontekstualisaskan ke
dunia politik hari ini, gejala ini bisa dikatakan sebagai anti tesis di mana
orang yang berada di atas (penguasa) selalu ditarik ke bawah agar jatuh dari
tempatnya oleh lawan politiknya. Beredarnya hastag #2019 Ganti Presiden dan
#Jokowi Dua Periode adalah salah satu contoh yang tepat untuk menggambarkan
fenomena sindroma kepiting yang saat ini mulai mewabah di dalam tubuh elit
politik.
Gejala sindroma kepiting yang menghinggap pada diri para politikus
jelas akan berdampak pada Pilpres 2019 mendatang. Karena gejala ini tidak hanya
menjangkit individu saja, melainkan juga kelompok-kelompok yang saat ini ikut
menjadi pendukung pasangan calon yang akan diusung. Dengan demikian, maka
potensi untuk saling menjatuhkan akan sangat besar dan melibatkan banyak
orang.
Apalagi dua pasangan yang mencalonkan diri sebagai calon presiden
dan wakil presiden sudah pernah bersaing di Pilpres sebelumnya, yakni Pilpres
2014. Sehingga besar kemungkinan di Pilpres 2019 mendatang serangan-serangan
baik yang bersifat sentimen individual maupun kelompok akan kembali terjadi.
Ditambah dengan menguatnya politik identitas tentu akan memberikan nuansa yang
tidak kalah panasnya dengan isu-isu yang melekat pada dua kubu yang tengah
bersaing saat ini.
Alhasil, gagasan atau ide bernegara yang seharusnya menjadi
subtansu dan nilai jual di dalam pertarungan politik tidak bisa ditampilkan
karena nilai jualnya yang rendah. Isu atau aib lawan politik justru jauh lebih
mahal dan sangat efektif digunakan untuk menyerang elektabilitas lawan politik.
Karena persaingan yang tidak sehat inilah, politik yang dulunya menjadi jalan
mencapai kemaslahatan bersama berubah haluan menjadi ajang pertikaian.