Surabaya NewsWeek- Insiden perobekan bendera
Belanda (merah-putih-biru) yang terjadi pada 19 September 1945 di Hotel Yamato (sekarang Hotel
Majapahit) kembali diperingati oleh Pemkot Surabaya. Peringatan itu diperagakan
dengan teatrikal perobekan bendera di tiang tertinggi Hotel Majapahit.
Peristiwa itu pecah ketika sekolompok orang
Belanda yang dipimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman mendatangi Surabaya dan
mengibarkan bendera Belanda tanpa persetujuan Pemerintah RI daerah Surabaya.
Sontak, sikap mereka itu memicu kemarahan para
pemuda Surabaya atau arek-arek Suroboyo. Sebab, mereka menilai Belanda telah
menghina kedaulatan Indonesia dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah
Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
"Cek kurang ajare arek Londho ngibarno gendero
abang putih biru nang bumi Suroboyo. Iki Indonesia wes merdeka. Dukno genderomu," teriak salah satu arek Suroboyo yang
saat itu diperankan oleh seniman Surabaya.
Permintaan untuk menurunkan bendera Belanda itu
pun tak digubris oleh orang Belanda, sehingga arek-arek Suroboyo ini semakin
marah dan melakukan perlawan. Beberapa letusan meriam terdengar kala itu,
akhirnya arek-arek Suroboyo semakin sengit melakukan perlawanan hingga beberapa
tokoh Surabaya gugur dan beberapa orang Belanda juga tewas dihajar arek-arek
Suroboyo.
Orang Belanda ini pun dipukul mundur setelah ribuan
warga Surabaya berdatangan untuk membantu kawan-kawannya. Saat itu pula,
tangga-tangga dari bambu diambil untuk naik ke tiang tertinggi hotel. Arek-arek
Suroboyo itu bahu-membahu menaiki tempat pengibaran bendera Belanda itu, suara
kentongan yang bertalu-talu dan gemuruh arek-arek Suroboyo menambah semangat
para pejuang ini untuk menyobek bendera berwarna biru itu. Hingga akhirnya,
bendera warna biru itu disobek dan tinggal warna merah putih yang berkibar.
Itulah semangat nasionalisme yang ditunjukkan dalam
teatrikal perobekan bendera di Hotel Majapahit. Mereka pun menyanyikan lagu
Indonesia Raya dengan penuh penghayatan. Ditambah lagi dengan lagu Gugur Bunga
yang divisualisasikan dengan mengangkat para pahlawan yang gugur kala itu.
Pada kesempatan itu, Wali Kota Surabaya Tri
Rismaharini juga membakar semangat arek-arek Suroboyo dengan menyampaikan
pidato kebangsaannya. Bahkan, ia pun membacakan ikrar sebagai anak cucu para
pahlawan.
“Biarpun bumi bergoncang. Bulan, bintang dan
matahari mengoyak langit. Kami arek arek Suroboyo bertekad, untuk selalu
menjaga dan menghormat, kepada bendera satu, bendera
merah putih. Merdeka…
merdeka… merdeka…..,” pekik Wali Kota Risma disambut teriakan “merdeka” oleh
para pelajar dan Forpimda yang hadir saat itu.
Saat itu, Wali Kota Risma mengaku refleksi
perobekan bendera ini untuk memberikan semangat kepada anak-anak Surabaya untuk
selalu berjuang dan tidak pernah menyerah.
“Ini untuk menyemangati anak-anak
Surabaya supaya tidak pernah kenal takut dan tidak kenal kata menyerah, makanya
kami juga mengundang anak-anak Surabaya ini,” kata Wali Kota Risma seusai acara
perobekan bendera.
Wali kota perempuan pertama di Kota Surabaya itu
juga mengaku senang dan surprise karena warga Surabaya dan arek-arek Suroboyo
sangat antusias mengikuti perobekan bendera itu. Makanya, ia menilai bahwa
semangat nasionalisme sudah terbentuk dan terbangun diantara anak-anak
Surabaya.
“Mereka tadi juga berteriak-teriak saat
detik-detik perobekan bendera, itu artinya semangat mereka sudah terbentuk dan
terbangun. Ini akan terus kita gelorakan supaya mereka tidak kenal dengan kata
menyerah,” tegasnya.
Oleh karena itu, ia berharap supaya anak-anak
itu bisa lebih siap dalam menghadapi pertempuran yang sesungguhnya, yaitu
kemiskinan dan kebodohan. Sebab, ke depannya mereka akan menghadapi masa yang
berat, terutama di tahun 2020 dengan adanya WTO. Saat itu, mereka harus
menghadapi anak-anak seluruh dunia.
“Kalau hanya dibekali pinter, tidak
dibekali daya juang, mereka akan gampang menyerah, padahal dulu kan berjuangnya
setengah mati,” imbuhnya.
Nantinya, lanjut dia, diharapkan anak-anak itu
tidak hanya jadi penonton di kotanya sendiri.
Tapi mereka harus menjadi tuan
dan nyanyo serta pemilik di kotanya sendiri. “Pompa semangat itulah yang kami
bangun terus, karena merekalah yang mengelola kota ini ke depannya. Nanti akan
berat tantangan mereka, karena globalisasi ini sudah mendunia,” pungkasnya. (
Ham )