Surabaya NewsWeek- Sengketa tanah dan bangunan di Jalan
Kenjeran no 254 antara Soendari (Penggugat) dan Pemerintah Kota Surabaya
(Tergugat) akhirnya dimenangkan Pemkot Surabaya. Hal ini berdasarkan hasil
putusan perkara perdata dari majelis hakim nomor 1029/Pdt.G/2017/PN.SBY.
Dengan putusan ini,
berarti Pemkot Surabaya berhak memiliki tanah dan bangunan karena memiliki
bukti yang cukup kuat.
“Beberapa bukti
diantaranya besluit van de geementeraad atau bukti kepemilikan atas tanah pada
zaman Belanda, meskipun belum bersertifikat, lalu objek tanah dan bangunan
masih tercatat dalam daftar aset pemkot serta saksi yang dihadirkan membenarkan
bahwa tanah tersebut dulunya merupakan kantor Kelurahan Rangkah,” ujar Kepala
Dinas Pengolahan Bangunan dan Tanah (DPBT) Surabaya, Maria Theresia Ekawati,
Selasa, (4/8/2018).
Dikarenakan dari sisi
perdata Pemkot Surabaya dinyatakan menang oleh PN, Yayuk – sapaan akrabnya
menuturkan masih menunggu tindak lanjut dari putusan perdata itu.
“Putusan itu digunakan
sebagai bahan pertimbangan pengajuan kasasi,” imbuhnya.
Menurut Yayuk, selain
perdata, Soendari juga menjalani proses hukum pidana. Pasalnya, pemkot menemukan
bukti bahwa obyek tanah dan bangunan tersebut sudah dijual Soendari ke orang
lain. Pemkot pun, kata Yayuk, meminta bantuan kepada Kejaksaan Tinggi untuk
menelusuri informasi tersebut.
“Orang yang membeli
tanah itu datang ke pemkot membawa kwitansi pembayaran yang sudah dibelinya
dari Soendari,” terang Yayuk.
Dari hasil
pemeriksaan, Kejaksaan Tinggi menduga ada tindak pidana korupsi yang dilakukan
Soendari dengan bukti kwitansi pembayaran sebesar Rp 2,1 miliar.
“Kejaksaan tinggi
menilai Soendari merugikan negara karena mencoba mengalihkan tanah dan bangunan
tersebut kepada pihak lain,” papar Yayuk.
Awal tahun 2017,
kejaksaan tinggi menahan Soendari lalu pada 2 Juli 2018 majelis hakim
membebaskan Soendari secara murni atas pertimbangan tidak adanya bukti
melakukan tindak korupsi. Alasannya, belum ada perjanjian jual-beli.
“Kira-kira seperti itu
pertimbangannya,” tegas mantan Kabag Hukum tersebut.
Keputusan hakim
membebaskan Soendari disayangkan Yayuk. Sebab, dalam putusan perdata
menyebutkan bahwa tanah dan bangunan seluas 194,82 m2 itu adalah aset pemkot
sebagai penggugat rekovensi.
“Kenapa di pidana,
hakim menyatakan tidak ada tindak pidana korupsi? Seharusnya putusan itu
sinkron,” ungkap Yayuk.
Dijelaskan Yayuk,
obyek tanah dan bangunan yang terletak di jalan Kenjeran 254 Surabaya dulunya
eks kantor Kelurahan Rangkah yang dijaga oleh ayah Soendari. Kemudian ditempati
Soendari ketika ayahnya meninggal.
Tahun 2008, tanah dan
bangunan yang ditinggali Soendari terkena pembebasan lahan untuk akses jalan
Suramadu.
Pada saat itu,
Soendari meminta ganti rugi kepada pemkot, namun ditolak karena tanah tersebut
masih tercatat dalam aset Pemkot Surabaya. Namun, Pemkot tetap memberikan ganti
rugi untuk bangunannya.
“Upaya itu kembali
ditolak Soendari lalu Pemkot melakukan konsinyasi di pengadilan. Kalau tidak
salah uangnya sampai sekarang ada di pengadilan dan belum diambil,”
ujarnya.
Berdasarkan catatan
DPBT, Soendari juga pernah menyerahkan bukti peta bidang namun ditolak oleh BPN
dengan alasan peta bidang tidak dapat dijadikan bukti kepemilikan.
“Penolakan ini yang
membuat Soendari menggugat pemkot ke pengadilan negeri Surabaya untuk pertama
kalinya,” tandas Yayuk. ( Ham )