Surabaya NewsWeek- Perhimpunan
Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Korwil Surabaya menilai Peraturan
Direktur Jaminan Kesehatan No 4 tahun 2018 yang diterapkan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengenai rujukan berobat sangat mempersulit
warga.
Sebab, warga tidak
bisa lagi meminta rujukan ke rumah sakit yang dekat dengan tempat tinggalnya.
Namun harus dirujuk ke rumah sakit tipe D dulu, baru kalau tidak mampu bisa
dirujuk ke rumah sakit tipe C, B, dan A.
Menyikapi adanya
aturan baru tersebut, Koordinator PERSI Korwil Surabaya Herminiati mengatakan
pihaknya telah melakukan pertemuan sebanyak tiga kali untuk membahas peraturan
baru tersebut.
Menurutnya, secara
substansi peraturan itu jelas mengurangi manfaat Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) dan tidak selaras dengan Peraturan Direktur Jaminan Kesehatan
(Perdirjampel) dengan program prioritas nasional kesehatan.
“Misalnya pasien yang
sudah berobat lama di rumah sakit tipe B, tentunya data-data sudah terekam di
sana. Tetapi karena harus ke rumah sakit yang baru (tipe D) akan menyebabkan
pasien tersebut harus mengulangi semua pemeriksaan dimulai dari awal,” kata
Herminiati saat ditemui di Rumah Sakit Ibu dan Anak Putri Surabaya, Selasa, (25/09/18).
Herminiati menganggap
bahwa peraturan yang diberlakukan ini juga menyalahi UU No 36 Tahun 2016
tentang pelayanan kesehatan. Dalam UU itu tertuang, bahwa setiap orang
berhak dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
Setiap orang berhak
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman bermutu dan terjangkau. Dan setiap
orang juga berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
“Makanya kami dari
Persi menolak aturan itu. Seharusnya diolah dahulu baru diuji coba. Uji coba
pun menurut saya jangan seluruh Indonesia. Misalnya satu kota dulu atau desa.
Kemudian baru diperbaiki,” tegas Herminiati yang juga selaku Direktur Utama
RSIA Putri ini.
Herminiati
mengungkapkan, saat ini jumlah rumah sakit di Surabaya yang telah ikut BPJS
sebanyak 48. Terbagi menjadi 9 rumah sakit tipe D, 13 rumah sakit tipe C, 10
rumah sakit tipe B dan 3 rumah sakit tipe A. Sedangkan, untuk rumah sakit
khusus, ada 6 terbagi tipe B, C, dan D.
“Sehingga peraturan
baru itu akan berimbas pada jarak yang ditempuh oleh pasien. Belum lagi, kalau
pasien membutuhkan pengobatan lanjutan, ini akan mempersulit dan menyengsarakan
pasien,” ujarnya.
Oleh karena itu,
pihaknya mengaku telah melayangkan surat ke Pemerintah Pusat. Menurut dia,
hendaknya peraturan baru tersebut bisa ditinjau ulang supaya tidak meresahkan
dunia perumahsakitan dan masyarakat Kota Surabaya pada umumnya. Seyogyanya,
baik BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Persi, dan Organisasi Profesi dapat
duduk bersama dan menyelesaikan hal ini secara sophisticated.
“Kami di Jawa Timur
sudah mengirim surat ke pusat agar ditindaklanjuti sistem ini. Karena dianggap
tidak nyaman,” terangnya.
Bahkan, dalam waktu
dekat pihaknya akan kembali mengadakan pertemuan untuk membahas progres surat
yang telah dilayangkan tersebut. Bagaimana hasil surat itu, dan langkah
selanjutnya yang akan diambil. Disamping itu, Herminiati mengaku pihaknya juga
akan berkoordinasi dengan Korwil-Korwil Persi yang lain serta ahli profesi.
“Jadi tanggal 7
Oktober nanti, ada rapat Persi. Itu akan menilai surat yang telah kita kirim
bagaimana hasilnya,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala
Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Febria Rahmanita menyampaikan bahwa
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini telah mengirimkan surat kepada Kementerian
Kesehatan dan Direktur Utama BPJS agar meninjau ulang mekanisme pelayanan rujuk
berobat. Pasalnya, prosedur baru tersebut membebani masyarakat dan rumah sakit,
dan Surabaya sudah merasakan dampak peraturan baru itu.
“Bu Wali Kota sudah
membuat surat ke Kemenkes dan Dirut BPJS yang isinya meminta peraturan itu
ditinjau ulang,” kata Febria.
Febria menambahkan
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya berupaya memberikan kemudahan pelayanan
kesehatan bagi warganya. Untuk mengurangi beban masyarakat,
Pemkot menggunakan
alternatif lain yakni cara manual. Meski imbasnya, anggaran yang dibutuhkan
akan bertambah. “Karena tak bisa diklaimkan ke BPJS, pemkot nanti akan intervensi,”
terangnya. ( Ham )