"Saya sudah sampaikan ke Pakde Karwo (Gubernur Jatim Soekarwo) bahwa surat edaran telah dimanfaatkan oleh sekolah untuk memungut besaran SPP, " kata anggota Dewan Pendidikan Jatim, Isa Ansori kepada Antara di Surabaya, Kamis.
Padahal , katanya, maksud gubernur kalau Biaya Operasional Siswa (BOS) dinilai sudah cukup, maka sesuai surat edaran sekolah dilarang memungut biaya apapun.
"Tapi karena tidak adanya standar pembiayaan minimal bermutu yang dibuat Pemprov Jatim, akhirnya sekolah memanfaatkan surat edaran itu untuk melegalkan penarikan SPP," ujarnya.
Isa mencontohkan ada sekolah di dalam standar pembiayaan bermutunya membutuhkan dana Rp200 ribu, padahal BOS cuma Rp150.000, maka kekuranganya senilai Rp50.000 menjadi tanggung jawab wali murid.
"Tapi yang sekarang kan tidak begitu, pembiayaannya menjadi BOS ditambah tarikan yang disesuaikan dengan SE Gubernur, padahal maksud pak gubernur tidak begitu," katanya.
Isa mengatakan besaran besaran kenaikan SPP di tiap-tiap kabupaten kota bervariasi. Meski demikian, lanjut dia, ada beberapa pemerintah daerah yang ikut membantu warganya dalam mengatasi naiknya SPP, seperti di Pemkot Batu dan Blitar.
Untuk itu, lanjut dia, yang harus dilakukan oleh Pemprov Jatim mengeluarkan standar biaya pendidikan minimal bermutu dan mewajibkan sekolah membuat Rancangan Angaran Biaya (RAB) pendidikan bermutunya dan diketahui oleh Dinas Pendidikan Jatim atau yang mewakilinya.
"Tentunya degan mengacu RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah) masing-masing sekolah karena sekolah yang paling tahu kebutuhannya," katanya.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sebelumnya mengatakan sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD) di Pemkot Surabaya seperti dinas pendidikan, dinas pengendalian penduduk, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, dinas sosial, hingga bagian kesejahteraan rakyat mendapatkan keluhan dari masyarakat terkait wacana menaikkan SPP.
Risma menjelaskan banyaknya siswa SMA/SMK yang harus menghabiskan waktu berjualan nasi goreng, hingga ojek daring di sela-sela aktivitas belajar-mengajar. Para siswa tersebut lantas di data hingga ke rumah masing-masing. Hasilnya, para siswa itu berpotensi putus sekolah.
Menurut Risma hal tersebut bertentangan dengan semangat kemerdekaan, dimana seharusnya seluruh lapisan masyarakat berhak mengenyam pendidikan minimal wajib belajar dua belas tahun.
"Masa hanya yang mampu saja yang bisa bersekolah. Kalau begini kan sama saja saat era penjajahan dulu," katanya. (Ham)