Nur ul Yakin, Direktur. |
BANGKALAN - Puasa demi puasa, Ramadhan demi
Ramadhan beserta ibadah yang senantiasa menyertainya dengan segala kerendahan
hati dan sungguh - sungguh izinkan kami segenap Keluarga Besar P.T. Mayama (Madu Raya Utama), Tour dan Travel, Jln. Raya Labang Desa Labang, Kabupaten
Bangkalan mengucapkan, Marhaban Ya Ramadhan 1439 H/2018 M.
Memasuki
ambang Ramadhan 1439 H/2018 M kali ini, teringat akan ilmu Rasullah S.A.W,
" hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang".
Memang benar demikian puasa sebagai peperangan melawan hawa nafsu. Tapi
barangkali karena pengetahuan dan ilmu kita tentang musuh yang harus di perangi
itu tidak bertambah, strategi dan taktik peperangan kita pun kurang berkembang.
Kalau kita mendengar
tentang nafsu makan, asosiasi kita menunjuk ke makan, bukan ke nafsunya. Maka,
ketika istri kita ke pasar yang dibeli terutama adalah pesanan nafsu, bukan
kapasitas kebutuhan makan yang diperlukan. Setiap pelaku puasa memiliki
pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenis makanan dan
minuman sepanjang hari. Kemudian saat berbuka tiba, ia baru tahu bahwa
perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.
Hikmah dari
peristiwa itu semestinya adalah kesanggupan memilah antara dorongan nafsu
dengan kebutuhan makan. Kegiatan puasa jadinya bukanlah pertempuran melawan,
" tidak boleh makan", melainkan melawan nafsu itu sendiri yang
menuntut pengadaan lebih dari sekedar makanan.
Puasa adalah
penguraian " nafsu " dari " makan". Untuk tidak makan dari
subuh hingga magrib, putra-putri kita yang baru duduk di bangku kelas 3 sekolah
dasar saja sudah sanggup. Untuk " tidak makan " jauh lebih gampang
dan ringan dibandingkan untuk " tidak nafsu makan", terutama bagi
para penghayat makan yang sejati.
Seorang sufi
yang tingkat keakrapannya dengan makan tinggal hanya berkonteks dengan
kesehatan tubuh, dalam hidupnya tidak pernah lagi ingat makan kecuali perutnya
lapar. Ia bukan merekayasa untuk hanya makan ketika lapar tetapi memang
betul-betul sudah tidak mengingat makan sampai perutnya mengingatkan bahwa ia
lapar.
Untuk ingat
lapar, cukup perut yang melakukannya, tapi untuk berhenti makan sebelum
kenyang, manusia memerlukan dimensi-dimensi rohani tinggi kemanusiaanya untuk
mengingatnya. Ia memerlukan nalar ilmu kesehatan tentang makanan sehat yakni
tentang kurang dan tidak lebih. Ia melatih ketepatan kapasitas makan agar ia
memperoleh ketepatan pula dalam aktivitas " makan" yang lain di
bidang kehidupan yang lebih luas. Wallahibishawab. (*)