JAKARTA - Protes keras insan pers atas kebijakan dan regulasi yang
dibuat oleh Dewan Pers kian deras mengalir dari berbagai penjuru tanah air.
Gerakan protes itu makin memuncak akibat maraknya tindakan kriminalisasi
terhadap pers di berbagai daerah namun Dewan Pers terlihat diam saja, bahkan
terkesan ikut mendorong agar para jurnalis kritis dipenjarakan.
Menyikapi permasalahan ini, Ketua
Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia Hence Mandagi dan
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Persatuan Pewarta Warga Indonesia Wilson
Lalengke telah mengambil langkah hukum sebagai upaya mengakomodir aspirasi para
wartawan dan media dari berbagai daerah yang merasa dirugikan oleh kebijakan
dan aturan yang dibuat oleh Dewan Pers. Pada Kamis. 19 April 2018, kedua
pimpinan organisasi pers ini resmi melayangkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum
terhadap Dewan Pers di kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan menunjuk
tim kuasa hukum yang diketuai Dolfi Rompas, SH, MH.
Berbagai aturan dan kebijakan Dewan
Pers yang dinilai melampaui kewenangannya antara lain adalah melaksanakan
kegiatan wajib bagi wartawan Indonesia untuk ikut Uji Kompetensi Wartawan
melalui Lembaga Penguji Standar Kompetensi Wartawan yang ditetapkan sendiri
oleh Dewan Pers dengan cara membuat peraturan-peraturan sepihak. Tindakan yang
dilakukan Dewan Pers ini merupakan Perbuatan Melawan Hukum karena melampaui
kewenangan fungsi Dewan Pers sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat (2) UU
Pers.
“Berdasarkan fungsi Dewan Pers
tersebut tidak ada satupun ketentuan yang mengatur Dewan Pers sebagai lembaga
yang dapat menyelenggarakan uji kompetensi wartawan,” ujar Dolfi Rompas, selaku
kuasa hukum penggugat.
Perbuatan Dewan Pers
menyelenggarakan kegiatan uji kompetensi wartawan juga sangat bertentangan atau
menyalahi Pasal 18 ayat (4) dan (5) UU Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan: _“(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk
badan nasional sertifikasi profesi yang independen. (5) Pembentukan badan
nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) diatur dengan Peraturan Pemerintah”._
Kegiatan uji kompetensi wartawan
tersebut di atas juga menyalahi atau melanggar pasal 1 ayat (1) & (2); dan
pasal 3, serta pasal 4 ayat (1) & (2) Peraturan Pemerintah tentang Badan
Nasional Sertifikasi Profesi. “Jadi sangat jelas di sini aturan hukum
menjelaskan bahwa lembaga yang berwenang menetapkan atau mengeluarkan lisensi
bagi Lembaga Uji Kompetensi atau Lembaga Sertifikasi Profesi adalah BNSP
bukannya Dewan Pers. Sehingga Lembaga Uji Kompetensi Wartawan yang ditunjuk
atau ditetapkan Dewan Pers dalam Surat Keputusannya adalah ilegal dan tidak
memiliki dasar hukum dan sangat merugikan wartawan,” imbuh Dolfie Rompas.
Sementara itu, Hence Mandagi selaku
Ketua Umum DPP SPRI menegaskan, tindakan Dewan Pers melaksanakan verifikasi
organisasi wartawan yang menetapkan sendiri peraturannya dengan cara membuat
dan menerapkan Peraturan Dewan Pers tentang Standar Organisasi Wartawan kepada
seluruh organisasi pers masuk kategori Perbuatan Melawan Hukum. Akibat
perbuatan tersebut menyebabkan anggota dari organisasi-organisasi Pers yang
memilih anggota Dewan Pers pada saat diberlakukan UU Pers tahun 1999 kini
kehilangan hak dan kesempatan untuk ikut memilih dan dipilih sebagai anggota
Dewan Pers. Dan bahkan organisasi-organisasi pers tersebut, termasuk SPRI,
tidak dijadikan konstituen Dewan Pers akibat peraturan yang dibuat oleh Dewan
Pers tentang Standar Organisasi Wartawan dengan menetapkan sepihak bahwa hanya
tiga organisasi pers sebagai konstituen Dewan Pers yakni PWI, Aji, dan IJTI.
Mandagi juga mengatakan, tindakan
Dewan Pers melaksanakan verifikasi terhadap perusahaan pers dengan cara membuat
Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers, sangat bertentangan dan
melampaui fungsi dan kewenangan Dewan Pers sebagaimana diatur dalam pasal 15
ayat 2 huruf g UU Pers. “Dampak dari hasil verifikasi perusahaan pers yang
diumumkan ke publik menyebabkan media massa atau perusahaan pers yang tidak
atau belum diverifikasi menjadi kehilangan legitimasi di hadapan publik.
Perusahaan pers yang belum atau tidak diverifikasi mengalami kerugian materil
maupun imateril karena kehilangan peluang dan kesempatan serta terkendala untuk
mendapatkan belanja iklan,” jelas Mandagi.
Selain itu, ada edaran Dewan Pers
terkait hasil verifikasi perusahan pers di berbagai daerah menyebabkan sejumlah
instansi pemerintah daerah dan lembaga penegak hukum di daerah mengeluarkan
kebijakan yang hanya melayani atau memberi akses informasi kepada media yang
sudah diverifikasi Dewan Pers. Hal ini sangat merugikan perusahaan pers maupun
wartawan yang bekerja pada perusahan pers yang dinyatakan belum lolos
verifikasi Dewan Pers, karena mengalami kesulitan dalam memperoleh akses
informasi dan akses pengembangan usaha.
Pada kesempatan yang sama, Ketua
Umum DPN PPWI Wilson Lalengke menegaskan, pihaknya mengajukan gugatan ini
sebagai bentuk pembelaan kepada seluruh pekerja media, secara khusus terhadap
para jurnalis yang terdampak langsung dengan kebijakan Dewan Pers selama ini.
Dua kasus yang diadukan dan ditangani PPWI yang terkait langsung dengan
kebijakan Dewan Pers menjadi pertimbangan PPWI Nasional, sehingga merasa perlu
melibatkan diri dalam proses gugat-menggugat secara hukum ini.
Kasus
itu menurut data PPWI adalah :
1. Kriminalisasi terhadap dua
jurnalis Aceh, Umar Effendi dan Mawardi terkait pemberitaan tentang “Tidak
Sholat Jumat seorang oknum anggota DPRA, Azhari alias Cage, yang dimuat di
media online Berita Atjeh dan berdasarkan rekomendasi Dewan Pers mereka
akhirnya dijebloskan ke penjara.
2. Kriminalisasi terhadap pers yang
menimpa Pemimpin Umum media Jejak News Ismail Novendra terkait berita tentang
dugaan KKN oknum pengusaha yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Kapolda
Sumatera Barat, dan meraup beberapa proyek strategis di sejumlah instansi
pemerintah di Sumatera Barat. Kasus ini tetap berlanjut ke Pengadilan Negeri
setempat meskipun Dewan Pers telah merekomendasikan agar kasus tersebut diselesaikan
dengan menggunakan UU Pers, namun polisi tetap memproses menggunakan pasal 310
dan 311 KUHP.
Salah satu kesimpulan dari dua kasus
di atas, menurut Lalengke, bahwa sebenarnya rekomendasi Dewan Pers, dari
pangkal hingga ke ujung hanyalah akal-akalan saja dan tidak membantu, serta
tidak berguna alias tidak diperlukan. “Untuk itu Dewan Pers perlu ditinjau
kembali atau dibubarkan saja sebelum uang negara habis digunakan untuk biaya
operasional lembaga yang tidak berguna bagi dunia jurnalisme di negeri ini,”
pungkas Wilson Lalengke. (b)