SURABAYA - Rumah yang
ditinggali Kasipan (52) jauh dari kata mewah. Jangan bayangkan rumah ini punya
gaya arsitektur yang bagus. Bayangkan
saja, sebuah rumah kumuh dengan dinding bercat merah yang kusam. Lalu atap
asbes yang sudah tua.Tak ada halaman apalagi taman di depannya. Ukurannya pun
tak bisa dibilang fantastis, yakni sekitar 158 meter persegi. Kita akan terkaget-kaget,
rumah ini sudah ditawar dengan harga Rp 2,2 miliar! Iya, hal itu bukan
mengada-ada. Lalu mengapa rumah Kasipan begitu mahal?
Rumah Kasipan adalah
satu-satunya rumah yang belum bisa dirobohkan Pemkot Surabaya dalam proyek frontage road Jl Ahmad Yani, sebuah
jalan raya terpadat di Surabaya. Proyek ini sebetulnya sudah selesai. Tapi
hanya rumah Kasipan yang membuat proyek ini belum selesai 100 persen. Wah,
bukannya harga Rp 2,2 miliar sudah sangat layak? Kasipan bukannya tak mau
menjual rumah tersebut.
Tapi, proses hak waris
rumah itu ternyata masih dalam sengketa."Persil saya ini ada sengketa. Ada
sertifikat lain yang diterbitkan oleh BPN, padahal kami sudah memiliki bukti
kepemilikan persil berupa SPHS yang ditebitkan pada tahun 1960," kata
Kasipan, seperti dikutip Grid.ID dari Surya.co.id.
Surat kepemilikan baru
yang muncul atas persilnya itu baru keluar di tahun 2010. Kepemilikan ganda itulah
yang membuat sengketa hingga persilnya tak bisa diganti rugi oleh Pemkot dengan
proses normal. Kasipan ini adalah keponakan sekaligus ahli waris yang kini
menempati rumah tersebut. Kini persilnya sedang diproses di pengadilan untuk
bisa damai dengan pembebasan senilai Rp 2,2 miliar.
Namun sebagai pemilik
persil yang kasusnya tak kunjung selesai, Kasipan mengaku cukup terdampak
dengan adanya proyek frontage road
sisi barat ini. Pasalnya lantaran sudah dikepung jalan yang kendaraannya selalu
berkecepatan tinggi kini ia justru tidak bisa menghuni rumahnya dengan tenang. "Saya
sekarang tinggalnya kadang di sini, kadang di rumah belakang. Di sini penuh
debu, kanan kiri kemarin dikepung pengerjaan jalan," katanya. Ia yang
mulanya berjualan es kelapa muda plus membuka jasa bengkel kini tidak bisa
meneruskan usahanya.
Menurutnya kini usahanya
menjadi semakin sepi dan relatif tidak ada yang mampir. "Yang paling terasa
dampaknya sudah tidak bisa membuka jasa usaha bengkel dan minuman. Kondisinya
tidak memungkinkan. Sekarang hanya ada adik yang membuka tambal ban di
sana," katanya. Lebih lanjut, ia mengaku tersudutkan dengan proses hukum
pembebasan tanah yang kini sedang berjalan di Pengadilan Negeri
Surabaya.Terlebih Pemkot nantinya akan berhak melakukan eksekusi meski urusan
sengketa persil belum diselesaikan.
Praktis hal itu akan
membuat Kasipan dan keluargnya harus segera angkat kaki dari persilnya meski
belum menerima ganti rugi pembebasan dari Pemkot. "Ya tentu merasa
dirugikan. Kalau dihitung dengan jumlah ahli waris delapan orang, uang segitu
kami hanya dapat berapa. Uang segitu tidak bisa dipakai untuk beli rumah di
lokasi Ahmad Yani," katanya. Tempat tinggalnya yang saat ini dirasa sangat
strategis untuk membuka usaha. Oleh sebab itu, ia mengaku berat jika harus
angkat kaki dari persil peninggalan kakek neneknya tersebut.
"Cari rumah ya belum
bisa. Wong uangnya belum bisa diterima kalau sengketanya belum selesai,"
katanya. Namun sebagai warga negara biasa, Dia mengaku hanya bisa pasrah
terhadap pelaksanaan pembangunan jalan. Ia masih akan berupaya di jalur hukum
agar bisa mendapatkan ganti rugi yang layak untuk persilnya tersebut. Pemerintah
Kota Surabaya menargetkan eksekusi persil tersebut bisa dilakukan pada bulan
ini atau bulan depan. (Sur/*)