SURABAYA - Gara-gara uang fee, persahabatan atau
pertemanan bisa berantakan. Seperti yang dialami oleh Suparno, BE.SH. (59
tahun) yang berprofesi sebagai Advokat harus menerima pil pahit akibat jatahnya
mendapatkan imbalan fee dari kliennya, Maulana. Tapi tidak diberikan secuil
bagiannya pada Suparno dan diduga ‘dicaplok’ dinikmati sendiri oleh rekannya,M.
Hasan Ubaidilah, yang juga berprofesi sebagai dosen IAIN Sunan Ampel sebesar Rp
212 juta. Tak ayal, Suparno yang kondisinya sedang menderita sakit dan sulit
untuk mengeluarkan suaranya tersebut melaporkan kasusnya ini pada Polda Jatim, mendapatkan
surat tanda lapor Nomor: TBL/591/V/2017/UM/JTM tertanggal 17 Mei 2017.
Kronlogisnya, Maulana sebagai ahli waris pengganti
dari almarhum Mustopo alias Topo yang mempunyai beberapa lahan yang terletak di
Kelurahan Warugunung, Kec.Karang Pilang Surabaya yang akan dibebaskan untuk
pembangunan jalan tol Sumo (Surabaya – Mojokerto) dan Pembangunan Rusunawa di
kawasan Warugunung/Sumur Welut itu. Sebab Maulana yang merasa buta hukum dalam
menangani perkaranya, lantas mendatangi kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) IAIN
Sunan Ampel Surabaya untuk mendapatkan bantuan hukum terhadap kasus tanah yang
membelitnya.
“Awalnya, saya tidak kenal dan tidak tahu siapa pak
Parno. Karena yang saya ketahui, saya memberikan kuasa pada lembaga LBH IAIN
Sunan Ampel dan dalam perjalanan lembaga tersebut melibatkan pak Parno dan pak
Muriansah sebagai advokat yang bukan dari LBH IAIN atau advokat di luar,”
ungkap Maulana yang didampingi oleh Johanis Saiya, Ketua LSM PKPU, Sabtu,
(19/8). Maulana juga mengakui, bahwa pak Parno juga ikut menangani perkara yang
sedang ditangani oleh tim dari LBH IAIN tersebut. Terus terang, saya tidak
hapal satu per satu kasus yang ditangani itu. Apakah termasuk pencairan uang
pembebasan lahan dijadikan tol atau bukan yang ditangani oleh pak Parno. “Saya
tidak tahu, karena saya banyak menanda tangani surat kuasa,” terangnya.
Yang jelas, kata Maulana, saya sudah mentransfer
dana sejumlah Rp 212 juta pada bank BNI sesuai dengan komitmen yang telah
disepakati itu dan diketahui oleh pak Hasan Ubaidilah atau akrab dipanggil pak
Ubed. Dan, ada tanda buktinya, ujarnya seraya menunjukkan dana yang sudah
disetorkan tersebut pada buku tabungan. “Saya juga tidak tahu, apakah yang saya
setorkan tersebut dibagikan pada siapa saja. Saya juga tidak mengetahui, yang
jelas saya sudah memenuhi kewajiban saya sesuai dengan perjanjian yang telah
dibuat, tuturnya menambahkan. Dia mengingatkan, saya lho yang membayarkan biaya
untuk notaris dan bukan orang lain. Saya mempunyai buktinya, tandasnya.
Sementara itu, M.Hasan Ubaidillah yang ditemui di
ruang kerjanya di kawasan Masjid Al Akbar Surabaya, Rabu, (16/8) mengatakan, “
Saya koq dilaporkan oleh pak Parno ke polisi dengan sangkaan penipuan dan
penggelapan. Padahal, saya tidak mengambil haknya dia, karena yang diganti
rugikan pembayaran pembebasan tanah untuk tol dan bukan tanah rusun di Sumur
Welut yang menjadi kuasa dari pak Parno,” kelitnya. Dikatakan lebih lanjut
Ubed, sebenarnya saya mendapatkan sisa bagian hanya sebesar Rp 30 juta yang
dibagi untuk ketiga orang, yaitu; saya mendapat Rp 10 juta, Muriansyah Rp 10
juta dan Mahir juga mendapatkan sisa bagian sebesar Rp 10 juta.
Dia menyatakan, uang yang diterima dari Maulana
sebesar Rp 212 juta, bukan saya makan sendiri. Namun, digunakan untuk membayar
biaya-biaya yang harus dikeluarkan di antaranya; biaya untuk notaris sebesar Rp
25 juta. Untuk biaya appraisal (juru taksir) sebanyak 3 kali masing-masing;
sebesar Rp 25 juta dan dua kali sebesar Rp 15 juta, beber Ubed. Ia
mengungkapkan, bahwa kasus yang ditangani ini bisa berjalan bertahan
bertahun-tahun, karena ada yang mendukung dananya dari pihak ketiga, katanya
tanpa menjelaskan penyandang dananya itu. Hasan Ubaidilah menyangsikan surat
kuasa yang dibuat bersama dengan pak Parno adalah asli, karena tanda tangannya
tidak sama dengan miliknya.
Pada bagian lainnya, Muriansyah Setiabudi, advokat
yang menjadi mitra kerja LBH IAIN Sunan Ampel dihubungi, Kamis, (24/8) ditemui
PA Surabaya menyatakan, “Saya memang menjadi anggota tim kuasa hukum dari LBH
IAIN Sunan Ampel yang menangani perkara tanahnya almarhum Moestopo dari pak
Maulana. Tetapi, saya tidak puas atas penanganan kasus itu sendiri maupun
pembagian hasilnya, “ ujarnya menyesalkan. Dalam sidang PAW (penetapan ahli
waris) di Pengadilan Agama, saya yang beracara, karena pak Mahir dan Hasan
Ubaidilah adalah berstatus sebagai PNS (pegawai negeri sipil) tidak bisa menjalankan
tugas sebagai advokat sehingga yang bukan advokat, tidak bisa bersidang,
jelasnya.
Anehnya, dalam Penetapan Ahli Waris di PA Surabaya,
Nomor: 1438/Pdt.P/2013 nama-nama; Mahir Amin, SHI.Fil.I dan M.Hasan Ubaidillah
sebagai para advokat/Pengacara yang berkantor di pengurus dan paralegal dari
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sunan Ampel. Padahal, mereka berdua menyandang
status sebagai PNS dan dilarang dalam UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat ?
Menurutnya, masalah fee menjadi kendala, karena
klien sudah membayar kewajibannya secara penuh, tapi oleh Ubed (Hasan
Ubaidilah, red.) dibayarkan secara diangsur hingga tiga kali pembayaran. Yang
pertama, dibayarkan Rp 3 juta sekitar bulan Januari 2016. Kedua, dibayarkan
tiga bulan berikutnya dititipkan melalui Maya, staf Posbakum di PA sebanyak Rp
2 juta. Ketiga, dibayarkan enam bulan berikutnya sebesar Rp 3 juta sehingga
total yang dibayarkan ke saya hanya Rp 8 juta, keluhnya. Sedangkan, Mahir yang
menjabat sebagai Direktur Eksekutif LBH IAIN Sunan Ampel juga mendapatkan
bagian yang sama sebesar Rp 8 juta secara tunai, kata Muriansyah menyesalkan.
Dia menambahkan, saya mendukung langkah pak Parno
untuk melaporkan masalah ini di kepolisian agar diketahui secara jelas, siapa
yang menjadi biang keladi atas keruwetan ini. Ia juga mengaku mendapat
informasi, bahwa tanah yang telah dibebaskan dan dibayarkan tersebut bukan
nilai yang sebenarnya dan diduga berkonspirasi dengan pihak lain. Nilainya
tidak tanggung-tanggung bisa mencapai 3 kali lipat dari nilai yang diterima oleh
pengganti ahli waris almarhum Moestopo sebesar Rp 1, 5 miliar, imbuh
Muriansyah.
Seperti diketahui tanda bukti lapor di Polda Jatim
Nomor: TBL/591/V/2017/UM/JTM tertanggal 17 Mei 2017, yang ditanda tangani oleh
Kompol.Drs.Sarwo Waskito, MHum, MM selaku Ka Siaga SPKT Polda Jatim diteruskan
oleh Wadir Dirreskrimum, Kombespol, Yuswardhie dilimpahkan proses penyidikan ke
Polrestabes Surabaya tanggal 29 Mei 2017. Selanjutnya, tanggal 13 Juni 2017,
Suparno, pelapor mendapatkan pemberitahuan pelimpahan laporan polisi, mengingat
tempat kejadian perkara (TKP) masuk wilayah hukum Polsek wonokromo, maka
laporan tersebut dilimpahkan lagi di Polsek Wonokromo, tulis AKPB Shinto
Silitonga.
Sejak tanggal 21 Juli
2107 Polsek Wonokromo telah menangani perkara tersebut dan memanggil Suparno
sebagai saksi pelapor dalam tindak pidana penipuan dan atau penggelapan
sebagaimana dalam pasal 378 KUHP dan atau pasal 372 KUHP. Terpisah Erol
H.Langie yang dihubungi terkait kasus tersebut membenarkan, bahwa kasus sudah
ditangani oleh Polsek Wonokromo. “Maaf, saya tidak bisa memberikan keterangan
apa pun terkait penanganan perkara ini. Yang jelas, kami akan menangani sesuai
dengan prosedur yang ada,” kata Erol mengelak. Bersambung... (b)