Surabaya Newsweek - Kolaborasi
penampilan tarian remo dan tim tarian yosakoi dari Kochi, Jepang, menjadi
pembuka Festival Tari Yosakoi ke-15 yang digelar di halaman Taman Surya, Minggu
(9/7). Festival tari yosakoi kali ini juga menjadi penanda peringatan 20 tahun
kerja sama kota kembar (sister-city) Kota Surabaya dengan Kota Kochi.
Acara tersebut
dihadiri Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini dan jajaran dinas terkait, Ketua
DPRD Surabaya Armuji dan jajaran pimpinan DPRD Surabaya. Sementara dari Kochi,
hadir Wali Kota Kochi Seiya Okazaki, Ketua Komisi sister city Surabaya-Kochi,
Shoichi Nishiyama dan juga Konsul Jenderal Jepang di Surabaya Masaki Tani.
“Kami senang bisa
menyambut keluarga besar dari Kochi di Surabaya. Kami berharap Surabaya bisa
menjadi rumah kedua bagi Anda semua. Ini merupakan festival yang spesial dan
perlu saya sampaikan bahwa di beberapa sekolah di Surabaya telah memiliki
kelompok tari yosakoi,” ujar Wali Kota Tri Rismaharini.
Sebelum membuka
festival tari yosakoi ke-15, Wali Kota Tri Rismaharini dan Wali Kota Kochi
Seiya Okazaki serta jajaran DPRD Surabaya dan dewan legislatif Kota Kochi,
bertemu di ruang kerja wali kota di Balai Kota Surabaya. Mereka berbincang
banyak hal. Utamanya perihal kerja sama kedua kota yang terjalin sejak 1997
silam.
Wali kota Tri
Rismaharini menyampaikan, selama ini kerja sama Surabaya-Kochi berwujud pada
pertukaran pelajar, pertukaran budaya dan pertukaran ekonomi. Nah, ke depannya,
akan ada peningkatan untuk menambah kualitas kerja sama kedua kota. Diantaranya
pertukaran tenaga perawat.
“Jadi kita bisa mengirim perawat ke sana dan
ternyata mereka membutuhkan perawat untuk bekerja di sana. Memang mereka bilang
ada standar-standar nya. Tapi kami akan ikuti,” jelas wali kota.
Wali kota perempuan
pertama di Kota Surabaya ini juga menyampaikan perihal cruise (kapal pesiar)
yang selama ini datang ke Kochi agar juga dipromosikan untuk datang ke
Surabaya. Wali kota juga mengundang jajaran pemimpin Kota Kochi untuk hadir
ketika Surabaya jadi tuan rumah Start Up Nation Summit pada 2018 mendatang.
Poin penting yang juga
dibicarakan dalam pertemuan di ruang kerja walikota adalah pembicaraan tentang
mobil pemadam kebakaran (Damkar) yang di Jepang hanya bisa digunakan selama
lima tahun. Wali kota berharap bisa memanfaatkan mobil Damkar yang sudah tidak
terpakai di Jepang tersebut.
“Di sana pemakaian
mobil Damkar cuma lima tahun. Bila sudah lima tahun, sebagus apapun dan
meskipun jarang dipakai, tapi harus diganti. Saya sampaikan minta itu dan
Konjen Jepang siap menindaklanjuti. Kami butuh banyak (Damkar) agar posko untuk
pemadam kebakaran juga banyak sehingga waktu respons time nya bisa lebih
cepat,” jelas wali kota.
Wali Kota Kochi, Seiya
Okazaki menyampaikan akan mendalami hasil pembicaraan dengan Wali Kota Tri
Rismaharini. Menurutnya, selama ini kerja sama Surabaya-Kochi berfokus pada
tiga hal. Yakni pertukaran pelajar, pertukaran budara, dan pertukaran secara
ekonomi.
“Kami tadi mengadakan
kunjungan kehormatan ke Ibu Risma. Kami berdiskusi perihal pertukaran tenaga di
bidang keperawatan, membantu untuk pemadam kebakaran dan Surabaya jadi tuan
rumah pertemuan UKM. Kami akan mendalami diskusi tersebut,” ujar Seiya Okazaki.
Menurut anggota Komisi
C DPRD Surabaya Vinsensius Awey, bahwa sebaiknya acara Urban Cross Culture
tidak lagi hanya menjadi acara ceremonial belaka saja, namun harus berdampak
pada peningkatan ekonomi Kota Surabaya.
“Nah kalau bisa, gelar cross culture di kota Surabaya dengan berbagai aktivitas pertunjukan budaya masing-masing negara, maka setidak-tidaknya bisa menaikkan devisa negara, pertumbuhan ekonomi Surabaya, mulai dari perhotelan, ruang pertemuan, restoran, UMKM, kalau itu bisa, patut di apresiasi,” tandasnya.
Namun sebaliknya, lanjut Awey, jika tidak bisa memberikan dampak apapun terhadap masyarakat, Kota Surabaya dan negara, maka MoU yang hanya merupakan ceremonial belaka tidak perlu dilanjutkan.
“Kalau tidak berdampak apapun terhadap peningkatan ekonomi khususnya warga Surabaya, sebaiknya tidak perlu jalin Sister City dengan Negara manapun,”tambahnya. ( Ham )
“Nah kalau bisa, gelar cross culture di kota Surabaya dengan berbagai aktivitas pertunjukan budaya masing-masing negara, maka setidak-tidaknya bisa menaikkan devisa negara, pertumbuhan ekonomi Surabaya, mulai dari perhotelan, ruang pertemuan, restoran, UMKM, kalau itu bisa, patut di apresiasi,” tandasnya.
Namun sebaliknya, lanjut Awey, jika tidak bisa memberikan dampak apapun terhadap masyarakat, Kota Surabaya dan negara, maka MoU yang hanya merupakan ceremonial belaka tidak perlu dilanjutkan.
“Kalau tidak berdampak apapun terhadap peningkatan ekonomi khususnya warga Surabaya, sebaiknya tidak perlu jalin Sister City dengan Negara manapun,”tambahnya. ( Ham )