Surabaya Newsweek - Peralihan kewenangan
penggelolaan SMA dan SMK dari pemerintah Kabupaten / Kota ke Provinsi di Tahun
2017 ini , mendapat sorotan tajam dari Indonesia Civil Rights Watch ( ICRW )
bahwa, permasalahan muncul disebabkan karena kebijakan Undang Undang ( UU )
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Khususnya Pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf A tentang Pembagian
Urusan Pemerintah Bidang Pendidikan dalam Sub-urusam Manajemen Pendidikan.
Menurut Kepala Advokasi ICRW, Didik Prasetiyono,
pengelolaan pendidikan bersandar pada UU 20/2003 tentang sistem pendidikan
nasional. Sementara konsekuensi penerapan UU 23/2014, Tahun 2017 menjadi
momentum peralihan kewenangan pengelolaan SMA dan SMK dari pemerintah
kabupaten/kota ke provinsi. Sementara pelaksanaan seleksi penerimaan siswa yang
dikenal PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) untuk SMA/ SMK, yang saat ini
diselenggarakan oleh provinsi, menuai kontroversi dengan berganti-gantinya
kebijakan.
Didik mencontohkan, seperti misalnya tentang
pengumuman pemberlakuan zonasi yang terjadi di Jawa Timur. Kemudian pengumuman
penambahan nilai 12,5 bagi siswa yang berdomisili di zonasi, dan penambahan
hari bebas zonasi yang terkesan tanpa perencanaan matang, serta mudah sekali
berubah-ubah.
"Hal
ini juga nampak terjadi merata di hampir semua provinsi di Indonesia.
Transparansi dan sosialisasi proses penerimaan siswa baru SMA/ SMK yang buruk
ini, menyebabkan terjadinya gejolak di masyarakat," ungkapnya.
Kemudian
juga memicu persepsi peluang permainan dan negosiasi ‘jalan belakang’
penerimaan siswa baru oleh oknum-oknum tertentu.
"Memperhatikan
Neraca Pendidikan Daerah (NPD) yang dimuat di Website Kemendikbud http://npd.data.kemdikbud.go. id/file/pdf/2016/050000.pdf,
bahwa alokasi anggaran untuk sektor pendidikan di Jawa Timur, hanya 1,7 persen
atau sekitar Rp 300,34 miliar saja dari total APBD Jawa Timur."ujarnya.
Angka
ini, menurut Didik, sangat jauh bila dibandingkan dengan amanat UUD 1945 yang
sebesar minimal 20 persen. "Sumber Biro PKLN 2016, memperlihatkan posisi
Jawa Timur di urutan terbawah nomer dua sebelum Papua dalam melakukan kebijakan
politik anggaran," tandasnya.
Rendahnya
komitmen politik anggaran pendidikan ini membuat alokasi untuk pembiayaan
perbaikan infrastruktur, pembiayaan peningkatan mutu guru/pengajar, pembiayaan
subsidi SMA/ SMK akan turun dan terganggu.
Khususnya
kabupaten/kota yang selama ini telah mampu secara mandiri, mengalokasikan
anggaran pendidikan lebih besar dari alokasi yang bisa disediakan oleh
pemerintah provinsi.
Rendahnya
alokasi anggaran pendidikan di Jawa Timur ini, nilai Didik, juga akan membuka
peluang bagi sekolah untuk melakukan berbagai pungutan, yang pada akhirnya
menyebabkan biaya sekolah tinggi dan potensi memicu tingginya angka putus
sekolah.
Didik
menambahkan, untuk persoalan pendidikan
sebagai imbas penerapan UU 23/2014 ini, memang sempat dibawa ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Namun hingga saat ini, permohonan peninjaun kembali (PK)
terhadap UU 23/2014 di MK tentang pemindahan kewenangan, belum diputus.
"Register
permohonan di MK, terdaftar di Perkara Nomor 30/PUU-XIV/2016 dan Perkara Nomor
31/PUU-XIV/2016 masih menunggu putusan majelis sidang," tandasnya.( Ham )