SURABAYA -
Pengadilan Negeri (PN) Surabaya kembali menggelar sidang kasus dugaan pemerasan
dan pencucian uang di Pelabuhan Tanjung Perak, Senin (22/5/2017). Pada sidang
yang ke delapan kalinya ini akhirnya terungkap fakta bagaimana pola pemerasan
yang dilakukan PT Akara Multi Karya (AMK) terhadap para importir pemilik
kontainer.
Seperti biasanya, dua terdakwa yaitu-
Djarwo Surjanto, mantan Direktur Utama PT Pelindo III dan istrinya yaitu Mieke
Yolanda tetap terlihat sumringah sebelum menjalani persidangan. Pada sidang
kali ini, jaksa penuntut Farkhan Junaidi menghadirkan tiga saksi diantaranya;
Martin Perdamaian (mantan Kordinator Bidang Lapangan PT AMK), Devi Wahyuni
Pratama (mantan Bendahara sekaligus kasir PT AMK), dan Lasiman (pemborong rumah
pribadi Djarwo Surjanto).
Kepada majelis hakim yang diketuai
Maxi Sigarlaki, Martin menceritakan bahwa sebagai Koordinator Bidang Lapangan
PT AMK, dirinya bertugas mengatur sirkulasi lapangan agar arus bongkar muat kontainer
di blok W PT Terminal Peti Kemas (TPS) tidak macet. Alurnya, kontainer dari
kapal digiring ke main blok, setelah itu dibawa ke blok W untuk buka tutup
segel. Setelah itu kontainer baru diperbolehkan keluar.
“Semua kontainer dibuka secara
sampling. Setelah dibuka diambil sampling secukupnya, ditutup, dan diijinkan
keluar. Syarat kontainer keluar dari blok W adalah importir harus bisa
menunjukkan surat jalan. Surat kontainer jalan bisa keluar, setelah importir
membayar sejumlah tarif,” ujar saksi Martin.
Ia menjelaskan, sebenarnya tugas PT
AMK di blok W hanya sekedar memfasilitasi atau membantu pemeriksaan karantina
saja. PT AMK tidak berhak melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap
kontainer karena tugas tersebut merupakan tugas dari petugas Balai Karantina
Surabaya. “Yang mengerjakan (pemeriksaan kontainer) pihak Balai Karantina,
sementara tugas PT AMK sebenarnya hanya membantu membuka kontainer. Namun
petugas karantina tidak pernah membuka kontainer,” jelasnya.
Sementara itu, Devi yang merupakan
kasir PT AMK mengaku tidak mengetahui apakah yang dilakukan PT AMK dalam kasus
ini masuk kategori pungutan liar atau tidak. “Saya mengetahui kalau itu pungli
dari penyidik. Yang pasti blok W kerap dimasuki oknum polisi dan oknum
pelabuhan,” beber Devi yang banyak mengaku tidak tahu saat dicecar jaksa
penuntut umum dan majelis hakim.
Sedangkan Lasiman mengaku pernah
ditransfer uang dua kali dengan total sebesar Rp 24 juta oleh Mieke. Transfer
itu dilakukan untuk pelunasan pembayaran biaya perbaikan rumah milik Mieke yang
beralamat di daerah Rungkut Harapan, Surabaya. Hanya saja, Lasiman tidak
mengetahui asal muasal uang tersebut apakah dari hasil pencucian uang atau
tidak. “Nilainya Rp 24 juta untuk perbaikan genting dan pagar rumah, dibayarkan
langsung dari rekening Nonik (nama akrab Mieke),” papar Lasiman.
Usai sidang, jaksa penuntut umum
Farkhan Junaedi menegaskan bahwa seharusnya yang berhak mengatur alur kontainer
bukanlah PT AMK, melainkan tugas dari Badan Otoritas Pelabuhan (BOP). Menurut
jaksa dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak ini, tugas PT AMK seharusnya
hanya mengatur masalah persedian air dan pengadaan kantin di blok W saja. “PT
AKM seharusnya tidak melaksanakan secara langsung tugas pemeriksaan fisik
karatina. Karena pemeriksaan fisik karantina merupakan tugas Balai Karantina
Surabaya,” bebernya.
Perlu diketahui, kasus pemerasan dan
pencucian di tubuh Pelindo III ini terbongkar setelah Tim Saber Pungli Mabes
Polri dibantu Polres Tanjung Perak melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT)
terhadap Augusto Hutapea pada November 2016 lalu. Augusto sebagai Direktur PT
Akara Multi Karya yang merupakan rekanan PT Pelindo III ini ditangkap saat
diduga mengambil uang pungli dari importir.
Usai ditangkap dan saat diperiksa, Augusto mencokot beberapa pejabat Pelindo III
dan mantan pejabat Pelindo III. Atas pengakuan itu, penyidik akhirnya bergerak
dan menggeledah ruang kerja Rahmat Satria, Direktur Operasional PT Pelindo III.
Tak berhenti disitu, kasus ini akhirnya juga menjerat Djarwo Surjanto, mantan
Direktur Utama Pelindo III dan istrinya yaitu Mieke Yolanda. (Ban)