KEDIRI – Jamu sudah dikenal sejak jaman
nenek moyang sebelum ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan obat-obatan
modern masuk ke Indonesia. Kebanyakan resep racikan jamu berumur puluhan atau
bahkan ratusan tahun dan terus digunakan secara turun temurun sampai sekarang
ini.
Menurut
ahli bahasa Jawa Kuno, istilah “jamu” berasal dari singkatan dua kata bahasa
Jawa Kuno yaitu “Djampi” dan “Oesodo”. Djampi berarti penyembuhan yang
menggunakan ramuan obat-obatan atau do’a-do’a dan aji-ajian sedangkan Oesodo
berarti kesehatan. Pada abad pertengahan (15-16 M), istilah oesodo jarang
digunakan. Sebaliknya istilah Djampi semakin populer diantara kalangan keraton.
Bukti
bahwa jamu sudah ada sejak jaman dulu dan sering dimanfaatkan adalah dengan
adanya relief Candi Borobudur pada masa Kerajaan Hindu-Budha tahun 722 M,
dimana relief tersebut menggambarkan kebiasaan meracik dan minum jamu untuk
memelihara kesehatan. Bukti sejarah lainnya yaitu penemuan prasasti Madhawapura
dari peninggalan Kerajaan Hindu-Majapahit yaitu adanya profesi “tukang meracik
jamu” yang disebut Acaraki.
Jamu
merupakan aset nasional yang sangat potensial dan sudah seharusnya dikembangkan
menjadi komoditi yang unggul tidak hanya untuk kesehatan tetapi juga
peningkatan perekonomian rakyat. Seiring dinamika perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya di bidang kesehatan maka diperlukan upaya pelestarian budaya minum
jamu untuk menjaga kesehatan.
Dalam
hal penyebaran jamu di masyarakat yang mudah diakses dan merupakan lini
terdepan dalam penjualan jamu adalah Usaha Jamu Gendong (UJG) dan Usaha Jamu
Racikan (UJR). UJG lebih mudah ditemui karena UJG menjajakan jamunya dengan
berkeliling, jamu yang dijual biasanya jamu segar yang ditempatkan dalam wadah
botol. Sedangkan UJR memiliki depot jamu yang menyediakan berbagai varian jamu
baik segar maupun jamu seduhan.
Dalam
upaya untuk mencapai target yang ditetapkan yaitu jamu yang aman, bermutu dan
bermanfaat serta melindungi masyarakat dari hal-hal yang merugikan kesehatan
sebagai akibat dari pembuatan obat tradisional yang tidak memenuhi syarat,
Dinas Kesehatan (Seksi Kefarmasian, Makanan dan Minuman) bersama dengan TP-PKK
Kab. Kediri pada bulan ini (April 2017) telah melakukan pembinanan kepada
pemilik Usaha Jamu Gendong (UJG) dan Usaha Jamu Racik (UJR) di 9 kecamatan di
Kabupaten kediri.
Kesembilan
kecamatan tersebut yaitu Kec. Kayen Kidul, Kec. Plemahan, Kec. Badas, Kec.
Gampeng, Kec. Pare, Kec. Papar, Kec. Mojo, Kec. Kepung, dan kec.
Kandat.pembinaan dilakukan dengan melihat sarana prasarana, proses pembuatan,
dan peracikan jamu oleh pemilik usaha jamu gendong dan usaha jamu racikan.
Berdasarkan
hasil pembinaan yang telah dilaksanakan pemilik Usaha Jamu Gendong (UJG) belum
menerapkan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). Sebagai contoh,
pemilik usaha jamu gendong masih menjual jamu dalam botol-botol plastik bekas
air mineral. Begitu juga dengan usaha jamu racikan masih ditemukan pemilik
Usaha Jamu Racikan (UJR) yang menggunakan jamu seduh tanpa izin edar dan
menambahkan Bahan Kimia Obat (BKO) kedalam racikannya.
Dengan diketahuinya permasalahan pada pembinaan
Usaha Jamu Gendong (UJG) dan Usaha Jamu Racik (UJR) masih menjadi pekerjaan
rumah kita semua untuk membenahi agar pemilik usaha mau dan sadar untuk merubah
cara dan proses pembuatan jamu sehingga jamu yang diedarkan sesuai dengan
ketentuan.(dim)