NGANJUK - Salah satu penyakit biokrasi
dinegara ini adalah pungli, pelayanan publik praktek masih diwarnai pungli,
merupakan rendahnya kwalitas pelayanan publik. Dengan terbitnya PP No 48 tahun
2014 serta PP No 19 tahun 2015 tentang tarif atas jenis penerimaan negara
secara rinci , peraturan tersebut mencakup ketentuan bila proses nikah
dilakukan dikantor KUA biaya 0% alias gratis dan bila proses nikah diluar /
rumah biaya Rp 600
ribu dibayar di BANK.
Tapi
kenyataannya dilapangan masih banyak pungli yang dilakukan oleh oknum perangkat
desa . salah satunta di Desa Ngujung, Kecamatan Gondang, Nganjuk yang dilakukan
oleh mudin menurut sumber masyarakat, saya heran katanya biaya nikah kalau
manggil Cuma 600 ribu tapi saya sama P Mudin Rochani dimintai Rp. 950.000 “ kata
beberapa warga.
Saat dihubungi
dikediamannya mudin Rochani desa ngujung, benar mas saya memungut biaya
Rp.950.000 yang 600 untuk biaya nikah dibayar di bank yang 350 untuk uang jasa
/ uang bensin itu sudah saya jelaskan kepada orangnya jadi saya nggak salah
ataupun melakukan pungli karena sudah kesepakatan. “ ucap mudin Rochan.
Awak media
menemui kades ngujung, selama saya menjabat kades semua pelayanan masyarakat
gratis itu berlakukan awal saya menjabat kades, kalau ada perangkat desa saya
yang minta jasa pelayanan atau pungli nanti saya tegur . “ Ucapnya.
Pada tanggal
3-4-2017 awak media menemui kepala KUA KEC GONDANG di kediamannya, kami sudah
sesuai peraturan dan prosedur di dalam menjalankan tugas mas, biaya nikah
kalau dikantor gratis dirumah 600 ribu kalau ada perangkat desa yang menarik
lebih kemungkinan itu uang jasa “ terangnya.
Kalau P Mudin diduga
terbukti melakukan gratifikasi serta pungli dia telah melanggar sumpah jabatan
dan UU yang berlaku, selaku perangkat desa yang sudah digaji pemerintah dari
uang rakyat dan sudah dikasih tanah bengkok tidak pantas uang jasa atu imbalan
kepada warga didalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Kepada pihak terkait
untuk memeberikan teguran serta sangsi yang keras kepada p mudin desa ngujung
supaya menjadi pembelajaran serta pungli tidak merajalela di kalangan perangkat
desa. (TRI)