Surabaya Newsweek-
Kekhawatiran DPRD Kota Surabaya terkait, drop out bakal meningkat pasca
beralihnya kewenangan pengelolaan SMA/SMK dari ke provinsi mulai terbukti.
Seperti disampaikan anggota Komisi D DPRD
Surabaya, Reni Astuti, saat menggelar reses di kawasan eks lokalisasi Putat
Jaya, dia menemukan 3 anak putus sekolah
“Di satu RT, ada tiga anak putus sekolah sejak
Januari lalu. Mereka kebetulan sekolah di swasta,” ungkap Reni, kemarin.
Selama ini, kalangan anggota dewan
memperkirakan angka siswa SMA/SMK yang putus sekolah di Surabaya pasca
peralihan pengelolaan dari pemerintah kota ke Pemprov Jatim, akan terus
bertambah.
Menurut Reni, kondisi tersebut terjadi karena
selama ini SMA/SMK mendapatkan bantuan operasional pendidikan daerah (bopda)
dari Pemkot Surabaya. Setelah pengelolaan beralih, tak ada bantuan dari Pemprov
Jatim.
“Karena tak ada bantuan lagi, baik dari pemkot
dan pemprov, maka beban anggaran dikembalikan lagi ke siswa,” paparnya.
Legislator dari PKS ini mengakui, selama ini
masih ada beberapa SMA/SMK yang mengandalkan dana BOS dan Bopda untuk memenuhi
kebutuhan operasionalnya. Hal itu terjadi, karena pendanaan di sekolah tersebut
yang terbatas.
Dia menuturkan, sebenarnya ada dua penyebab
meningkatnya angka anak putus sekolah. Pertama, berkaitan dengan motivasi,
kemudian kedua, karena ketiadaan pendanaan.
“Kadang ada yang bilang mau diberi dana
berapapun, kalau gak mau sekolah sulit,” katanya.
Namun, demikian, jika tak mempunyai
biaya, beban psikologis anak semakin berat. Karena kondisi tersebut membuat
siswa yang bersangkutan tak merasa nyaman saat di sekolah.
“Di Wonokromo, sejumlah orang tua mengeluh,
karena tak mampu bayar, anak mereka bolak balik ditanyai guru mereka. Akhirnya
kan membuat anak tersebut gak nyaman,” bebernya.
Reny mengungkapkan, sesuai data pemerintah
kota, jumlah anak dari keluarga tak mampu sebanyak 11.038.
Dari jumlah tersebut, sesuai Surat Gubernur
Jatim 6 Maret 2017, menanggapi Surat Walikota Surabaya tanggal 8 Februari 2017
tentang Data Sementara Siswa SMA/SMK yang tak mampu membayar SPP, sebanyak
5.602 dinyatakan bebas SPP. Sedangkan 4.970 siswa diberikan keringanan SPP.
“Tapi kenyataannya ada yang putus sekolah, dan
tagihan untuk membayar SPP kepada warga tak mampu dari sekolah,” ucap Reni.
Pihaknya berharap, selaku pengelola,
pemerintah provinsi mengetahui hal tersebut, dan segera mengambil kebijakan. Di
sisi lain, pemerintah kota yang berkewajiban memberikan perlindungan dan
pengayoman kepada warganya juga segera melakukan pendampingan.
“Jangan dibiarkan, apalagi Surabaya kan
mempunyai visi 2016–2021 menjadi kota yang berdaya saing global,” tandasnya.
Dia khawatir dengan banyaknya angka putus
sekolah, otomatis menambah jumlah pengangguran. Dampaknya, akan rentan
penyalahgunaan narkoba, seks bebas dan sebagainya.
Apabila kondisi sudah seperti itu, maka yang
menanggung beban adalah Kota Surabaya. “Makanya Surabaya harus hadir, meski
pengelolaan berada di provinsi,” tuturnya. ( Adv )