Surabaya Newsweek- Anggota Komisi D DPRD Surabaya
BF Sutadi mendesak pemerintah kota mengalihkan plotting anggaran pendidikan
gratis untuk SMA/SMK sebesar Rp 180 miliar, untuk membantu siswa keluarga
miskin.
Desakan ini disampaikan setelah Gubenur Jawa
Timur melarang penggunaan dana yang dianggarkan dalam APBD 2017 tersebut.
Menurut Sutadi, ketimbang anggaran itu tidak terpakai dan muspro, lebih baik
dimanfaatkan untuk siswa tidak mampu.
"Caranya, dengan memindahkan anggaran itu
dari pos anggaran langsung kepada pos bantuan (hibah),” kata Sutadi, kemarin.
Dia berpendapat, bantuan tersebut adalah
satu-satunya cara menyelamatkan masa depan siswa miskin, khususnya di tingkat
SMA/SMK. Apalagi, mulai tahun ini Pemkot Surabaya sudah tidak punya kewenangan
lagi menggratiskan biaya pendidikan bagi siswa SMA/SMK seperti tahun-tahun
sebelumnya.
Sutadi mengatakan, pemkot dan dewan sudah
berupaya agar siswa SMA/SMK tetap bisa mendapatkan pendidikan gratis, meski
pengelolaannya beralih ke Pemprov Jatim.
Upaya itu dilakukan, baik ke provinsi maupun
pemerintah pusat. Hasilnya anggaran Rp180 miliar yang disiapkan dalam APBD 2017
tidak bisa dipakai.
"Nah, kalau tidak ada upaya, bukan tidak
mungkin akan ada siswa putus sekolah di kota ini karena kesulitan biaya,”
ujarnya.
Selama ini, sebut Sutadi, banyak siswa miskin
yang terbantu bantuan operasional pendidikan daerah (Bopda) Kota Surabaya.
Sehingga mereka bisa melanjutkan sekolah hingga tuntas tanpa biaya apa
pun.
“Kalau dihitung, pengeluaran siswa SMA tiap bulan
Rp300.000-500.000. Bahkan untuk SMK lebih besar lagi, bisa sampai Rp700.000.
Ini belum termasuk uang saku dan biaya atau iuran lain. Bagi siswa keluarga
miskin, ini tentu memberatkan,” ucap dia.
Kebutuhan itu, tambah dia, pasti membebani warga
miskin. Karena itu, perlu subsidi dari Pemkot Surabaya. Oleh karena bopda sudah
tidak bisa dipakai, jelas Sutadi, maka tinggal bantuan perseorangan.
"Jadi, hanya siswa keluarga miskin yang
dapat. Caranya melalui bantuan langsung kepada mereka,” terang mantan Asisten I
Sekkota Surabaya ini.
Meski tidak maksimal layaknya bopda, namun
pihaknya yakin cara itu bisa membantu siswa miskin di Surabaya. Terpenting lagi
bisa meminimalisasi terjadinya siswa putus sekolah seperti yang dikhawatirkan
selama ini.
“Usul ini sempat kami sampaikan ke Pemkot
Surabaya, tetapi belum ada respons. Karena itu, ini akan kami desakkan lagi.
Sebab kami tidak ingin warga Surabaya putus sekolah hanya karena tidak bisa
membayar,” tuturnya.
Dia menambahkan, bantuan kepada warga miskin
selama ini sudah ada payung hukumnya. Proses bantuan sekolah perseorangan juga
sama.
“Memang harus mengubah pos anggaran dulu.
Prosesnya bisa melalui MPAK (mendahului Perubahan Anggaran Keuangan),” jelas
Sutadi.( Ham )