BLITAR - Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Pasal 29 Ayat (1) Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik
kedokteran di Indonesia wajib memiliki (STR) surat tanda registrasi dokter dan
surat tanda registrasi dokter gigi. Pasal 36 Setiap dokter dan dokter gigi yang
melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki (SIP) surat izin praktik.
Dan ketika STR dan SIP seorang Dokter itu telah habis masa berlakunya dan tetap
menjalankan praktik tanpa memperpanjang STR dan SIP maka praktik yang dilakukan
oleh Dokter tersebut adalah illegal,hal ini yang di ungkapkan Joko Trisno.M
selaku LSM JIHAT (Jaring
Investigasi Kejahatan Aparat ).
Matinya
STR dan SIP karena habis masa berlakunya telah menyeret dr.Harun Rosidi di
persidangan sebagai Terdakwa dalam sidang
perkara Pidana Nomor :233/PID.Sus/2016/PN.Blitar.dan di Dakwa Melanggar pasal
75 dan 76 UU No.29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran.
Habisnya
masa berlaku STR dan SIP ini tidak terlepas dari keberadaan IDI (Ikatan Dokter
Indonesia) sebagai organisasi profesi dokter dalam hal ini IDI Kota Blitar. Sebagai
Ketua IDI Kota Blitar dr.Zamil
di mintai keterangan sebagai saksi di pengadilan Negeri Blitar .Dokter
Zamil dalam keteranganya menjelaskan Berdasarkan kutipan yang terdapat pada SIP
sementara yang dikeluarkan oleh dinas kesehatan kota Blitar
“selambat
lambatnya dalam waktu 3 bulan sejak masa
berlakunya habis penanggung jawab nakes (tenaga kesehatan) terhadap yang
bersangkutan diwajibkan mengajukan permohonan untuk memperoleh surat izin lagi
yang baru, pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana kurungan atau
denda sesuai perundang undangan yang berlaku” jadi kalau kita mencermati
kutipan tersebut maka secara keseluruhan yang bertanggung jawab adalah Kepala
dinas kesehatan, Zamil menambahkan.
Pada persidangan sebelumnya Kepala Dinas Kesehatan Kota
Blitar Dokter Ngesti Utomo telah
dimintai keteranganya,berdasarkan keterangan Ngesti di persidangan “terkait
masalah ini Kepala rumah Sakit lah yang seharusnya bertanggung jawab sebab beliau
sebagai penanggung jawab Nakes. Dan saat di Tanya siapa kepala rumah Sakit
Ngesti menjawab “Dokter Hussein
dalam hal ini kepala RSU Mardi Waluyo saat itu.
Saksi
yang turut pula dimintai keterangan pada sidang berikutnya adalah Mantan Direktur RSUD Mardi Waluyo
dr.Mochammad Hussein selaku pengguna nakes dr.Harun Rosidi yang berpraktek
disitu “ Makanya disini ada disebut pengguna nakes, yang disebut pengguna nakes
itu Cuma 2 pilihan direktur rumah sakit atau dinas, dinas yang mengelola smua
dokter yang dibawah wilayahnya. Pilihannya Cuma dua in, “ ujar Benhard. “ Bahwa yang bertanggung jawab
adalah kepala Dinas Kesehatan kota Blitar selaku Pejabat yang mengeluarkan SIP
Sementara “ Ujar Hussein.
“
Saya saat ini sudah pensiun yang mulia untuk masalah administrasi rumah sakit
itu yang lebih banyak tahu adalah wakil direktur saya saat itu yang sekarang
Plt.Direktur RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar “ ujar Hussein ketika hakim ketua
menanyakan upaya hukum apa yang sudah dilakukan pihak RSUD Mardi Waluyo kota
Blitar terhadap tenaga kesehatan yang saat ini sedang berperkara.
Dari
persidangan yang sudah berjalan dan telah menghadirkan beberapa saksi ini
menariknya majelis hakim yang diketuai Benhard Mangasi Lumbantobing,SH ini
tetap pada pendiriannya bahwa harus ada yang bertanggung jawab terhadap perkara
dr.Harun ini karena mengutip tulisan yang tertera pada SIP sementara yang
dikeluarkan Dinas Kesehatan Kota Blitar tertulis selambat lambatnya dalam waktu 3 bulan sejak masa berlakunya habis
penanggung jawab nakes (tenaga kesehatan) terhadap yang bersangkutan diwajibkan
mengajukan permohonan untuk memperoleh surat izin lagi yang baru, pelanggaran
terhadap ketentuan ini diancam pidana kurungan atau denda sesuai perundang
undangan yang berlaku .
Di tempat terpisah Joko Sutrisno Ketua LSM JIHAT (Jaring Investigasi
Kejahatan Aparat) Blitar, selaku penggugat ketika ditemui menyampaikan “Dari
persidangan persidangan di pengadilan negeri beberapa direktur mengatakan
dr.Harun tidak bersalah, mereka para direktur merasa ketakutan dengan jeratan
UU No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit dengan ancaman 10 tahun denda 300 juta,
karena nyata nyata mereka mempekerjakan seperti Di RSU Aminah Blitar sejak 2011
sampai 2014.
Seharusnya
dr.Harun didalam melakukan tindakan medis tidak di Aminah tapi dimana dia
memiliki SIP yaitu Budi Rahayu,Mardi Waluyo dan dirumahnya,dalam kesempatan ini
juga bahwa dr. Harun bukan satu satunya dokter spesialis Orthopedy karena masih
ada dr. Hendra, dr. Ngudi Waluyo. Seperti yang sering disampaikan Hakim di
persidangan “Dalam persidangan Direktur RS.Aminah memang tidak ada dokter
K.Spein,tetapi berapa pasien K.Spein yang ditangani oleh dokter yang
bersangkutan,bisa di cek di rumah sakit Aminah dan Budi Rahayu tidak ada pasien
yg cidera tulang belakang” Tegas Joko.
Joko
juga sempat mempertanyakan perihal praktik
yang dilakukan di rumah dr.Harun siapa penanggung jawab Nakes seperti yang
sering di tanyakan Hakim perihal kutipan yang tertulis di SIP sementara
berkaitan “penanggung jawab nakes” yang diterbitkan Dinas Kesehatan. Semua saksi yang sudah memberi keterangan
pada BAP telah dihadirkan di persidangan.
Berdasarkan keterangan
Saksi Ahli dari KKI (Konsil Kesehatan Indonesia) Profesor Doktor Herku kamto ketua konsil
kedokteran dan sebagai Guru besar di Fakultas UI yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai saksi Ahli pada (31/10) di Pengadilan Negeri Blitar menjelaskan”Terkait STR dan SIP yang habis
masa berlakunya dan yang bersangkutan tidak mengurus/memperpanjang selambat
lambatnya Enam Bulan Sebelum habis masa berlakunya secara otomatis tidak boleh
melakukan Praktik Kedokteran sebab hal ini telah di atur dalam Undang-Undang No.29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran.
Ia juga menambahkan Sedangkan terkait kutipan
yang terdapat dalam SIP sementara yang dikeluarkan oleh dinas kesehatan kota
Blitar “selambat lambatnya dalam waktu 3 bulan sejak masa berlakunya habis
penanggung jawab nakes (tenaga kesehatan) terhadap yang bersangkutan diwajibkan
mengajukan permohonan untuk memperoleh surat izin lagi yang baru, pelanggaran
terhadap ketentuan ini diancam pidana kurungan atau denda sesuai perundang
undangan yang berlaku,
Saya tidak menanggapi karena itu di luar kewenangan saya dan Yangmulia majelis
hakimlah yang bisa memutuskan Bersambung.(tim)