SURABAYA - Sidang kasus penipuan
dan penggelapan yang menjerat Direktur PT Seagete Maritim Line (SML), Hariman
Prajogo sebagai terdakwa kembali berlanjut di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya,
Kamis (1/9/2016). Sidang yang dipimpin majelis hakim Musa Arief Aini ini
beragendakan keterangan ahli pidana, DR Solahudin, SH,MH, Dosen Fakultas Hukum
Universitas Bhayangkara.
Nah, keterangan Solahudin yang digadang-gadang sebagai acuan jaksa Lujeng
Andayani untuk membuktikan perbuatan pidana terdakwa malah berbalik
arah. Solahudin menyebut bahwa kasus yang membelit Hariman merupakan
kasus perdata. Dijelaskan Solahudin, kasus pidana tidak bisa berdiri
sendiri. Dengan kata lain, harus ada niat dari seseorang dalam melakukan
tindakan pidana. "Misalnya dengan kata-kata bohong dalam melakukan
penipuan,"terangnya.
Usai memberikan penjelasan, hakim Musa memberikan kesempatan kepada Mochamad
Jawahir, kuasa hukum terdakwa untuk mengorek keterangan Solahudin. "Jadi
begini, jika ada seseorang menyerahkan cek. Namun seseorang itu meminta agar
cek itu dicairkan setelah pengerjaan diselesaikan dahulu. Namun ternyata cek
itu dicairkan sebelum pengerjaan diselesaikan. Apakah itu bisa dikatakan
pidana?" tanya Jawahir kepada Solahudin.
Mendapati pertanyaan dari Jawahir, Solahudin dengan tegas menyatakan bahwa
kasus tersebut merupakan murni kasus perdata. "Karena dari awal sudah ada
kesepakatan yaitu cek diminta agar dicairkan setelah pengerjaan diselesaikan.
Berbeda jika tidak ada kesepakatan di awal," jelasnya.
Tak puas dengan jawaban Solahudin, lantas hakim Musa bertanya seputar cek
kosong merujuk pada kasus yang menjerat terdakwa. "Kan pemberi cek
mengetahui bahwa uang di rekeningnya cukup atau tidak jika cek itu dicairkan.
Terus siapa yang bertanggung atas cek tersebut?" kata Musa kepada
Solahudin.
Solahudin pun tetap tegas memberikan jawaban atas pertanyaan hakim Musa. Menurutnya,
pemberian cek kosong belum tentu perbuatan pidana dan juga belum tentu perdata.
"Semua tergantung pada materilnya, apakah ada kesepatan atau tidak sebelum
pemberian cek dilakukan," pungkas pria yang berprofesi sebagai dosen itu.
Seperti diberitakan sebelumnya, dalam dakwaan dijelaskan bahwa kasus dugaan
penipuan ini bermula ketika terdakwa Hariman menyewa kapal tugboat dan tongkang
ke Franky Husen, Direktur PT Samudra Sentosa Abadi (SSA) untuk pengangkutan
batubara pada Juni 2014 lalu. Saat itu, terdakwa Hariman berjanji membayar uang
sewa kapal itu satu minggu setelah tutup palka.
Setelah menggunakan kapal milik PT SSA, ternyata terdakwa Hariman tidak
segera melakukan pembayaran sewa seperti yang telah dijanjikan. Kemudian pada
Desember 2014, Franky meminta agar terdakwa Hariman segera melakukan pembayaran
sewa kapal sebesar Rp 3,1 miliar.
Kemudian pada 26 Desember 2014, terdakwa
menyerahkan 5 lembar cek Bank Mandiri kepada PT SSA. Namun setelah jatuh tempo,
ternyata dari 5 lembar cek tersebut, ada 2 lembar cek yang tidak bisa
dicairkan, masing-masing cek bernilai Rp 796 miliar. Atas perbuatannya terdakwa
dijerat dengan pasal 372 KUHP tentang penggelapan dan 378 KUHP tentang
penipuan. (ban)