Pelaku Industri Pangan Lokal Harus Lebih Serius

EKONOMI - Di tengah maraknya persaingan dalam pusaran pasar tunggal Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sudah berjalan sejak Januari 2016, Indonesia akan menghadapi masalah terutama kalangan industri pangan lokal menemui kendala tak ringan. Pasalnya, kondisi pasar pangan olahan di kawasan Asia Tenggara akan kian terbuka dari waktu ke waktu.

Nah, konsekuensinya supaya produk pangan domestik tidak kalah kalah bersaing dengan produk pangan yang sama dari negara ASEAN lainnya, pelaku industri pangan lokal harus mempersiapkan diri lebih serius. Apalagi dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, terbesar di Asia Tenggara, Indonesia sudah pasti menjadi pasar pangan empuk yang menggiurkan.

Lantas, apakah pelaku industri pangan lokal siap menghadapi pasar tunggal MEA? Bagaimana peran perguruan tinggi membantu meningkatkan mutu produk pangan lokal? Pertanyaan ini penting mengingat selama ini persyaratan mutu yang terlampau ketat mengakibatkan inovasi produk pangan lokal seringkali kalah dengan produk luar negeri. Akhirnya, opsi pangan impor pun diambil.

Indonesia diharapkan berperan penting dalam membangun integrasi rantai produksi pangan baru di kawasan ASEAN. Selama ini kita hanya dikenal sebagai pemasok bahan mentah dan menjadi pasar produk pangan negara-negara maju. Indonesia harus bangkit untuk menjadi basis produksi pangan dunia.

Permintaan pangan yang meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk patut diimbangi dengan kesiapan mutu produk olahan pangan lokal. Penguatan industri pangan lokal di tengah kian terbukanya pasar bebas menghadapi persoalan yang sangat serius. Urusan pangan yang seharusnya mendapat kontrol negara secara penuh, seperti amanat UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, kini diserahkan kepada mekanisme dan kekuasaan pasar.

Kemandirian pangan nasional semakin rapuh karena pangan akan dikuasai korporasi kapitalistik yang makin liberal. Saat ini saja kebutuhan pangan nasional 70% bergantung dari impor dengan jumlah rupiah yang dibelanjakan setiap tahun tidak kurang dari Rp300 triliun. Penilaian masyarakat terhadap perjalanan panjang pembangunan industri pangan lokal pada umumnya disebut tumbuh alamiah di tengah menumpuknya berbagai masalah yang menghadang.

Apalagi minimnya akses permodalan, tiadanya jaminan harga, penguasaan teknologi pangan yang masih rendah, dan mutu sumber daya manusia yang apa adanya adalah serpihan contoh. Di samping itu, pengalaman lain dari para pelaku industri pangan lokal skala rumah tangga atau lazim disebut UMKM bidang pangan acap menghadapi soal perizinan yang rumit, regulasi yang seringkali berubah-ubah, dan ekonomi biaya tinggi karena korupsi birokrat.

Persoalan baru akan segera menghadang ketika percepatan konektivitas diwujudkan pada MEA. Konektivitas diduga akan lebih mempermudah produk pangan negara lain anggota ASEAN masuk ke pasar domestik. Saat ini saja pasar domestik sudah dibanjiri berbagai macam produk pangan asing. Mulai dari makanan olahan, buah-buahan, dan produk pertanian lainnya berupa kedelai, beras, daging, jagung, bawang, gula, dan lain-lain. Sejumlah kalangan mengkhawatirkan menghadapi derasnya berbagai produk impor. Siapkah industri pangan lokal menghadapi MEA?

Untuk memenuhi standar nasional Indonesia (SNI) saja masih jauh tertinggal, apalagi untuk standar ASEAN. Padahal, salah satu sektor ekonomi yang sangat strategis untuk dikembangkan terkait MEA adalah industri pangan lokal. Namun, pengembangannya menghadapi tantangan tersendiri. Pemerintah patut mengantisipasi hal ini secara lebih serius untuk menghindari pasar domestik dikuasai oleh industri pangan negara-negara tetangga yang ternyata lebih siap.

Pemerintah harusnya patut memahami pengelolaan industri pangan secara baik akan menetaskan sektor agribisnis pangan lokal yang berdaya saing tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan warga. Mutu produk pangan olahan yang berdaya saing tinggi itu bahkan diharapkan berimbas positif pada proses pencapaian penguatan kedaulatan pangan seperti termaktub dalam UU No 18/2012 tentang Pangan.

Untuk itu, kehadiran pelatihan teknologi tepat guna di bidang pangan sangat dibutuhkan pelaku industri karena mendorong inovasi terkait pengembangan mutu dan keamanan produk pangan baru yang berdaya saing tinggi. Terkait dengan itu, peningkatan efisiensi dan standardisasi produk menjadi faktor pendukung yang amat penting diperhatikan dengan melibatkan perguruan tinggi untuk memperkuat riset di tataran. (mbeng)
Lebih baru Lebih lama
Advertisement