SURABAYA - Majelis hakim yang diketuai Efran Basuning akhirnya memenangkan
gugatan yang diajukan 98 Kepala Keluarga Warga Tanjungsari Surabaya melawan
tiga perusahan pengembang rumah mewah, yakni PT Darmo Satelit Town (DST), PT Darmo
Grand (DG) dan PT Darmo Permai (DP). Dalam amar putusan yang dibacakan diruang
Candra Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (19/7), majelis hakim pimpinan
Efran Basuning juga mewajibkan tiga perusahaan pengembang tersebut membayar
ganti rugi ke warga sebesar Rp 16,8 Milyar.
Denda kerugian itu dihitung pertahunnya Rp 350 juta, dikali 48 tahun, sesuai
dengan masa waktu pihak tergugat menguasai lahan yang disengketakan. Tak hanya
membayar kerugian ke warga tanjungsari, Hakim juga mewajibkan para tergugat
untuk membayar uang paksa atau dwangzoom
Rp 1 juta perhari, dihitung setiap tergugat terlambat mengembalikan objek
sengketa.
Menurut hakim, keputusan mengabulkan gugatan warga Tanjugsari tersebut
mengacu dari bukti SK Walikota Surabaya di era Bambang DH, pada tahun 2003.
Dimana dalam SK tersebut mengacu dari hasil rekomendasi Tim Pembebasan Tanah
Untuk Negara (P2TUN), yang menyatakan didalam lahan yang dikuasai pihak
tergugat sebagaian terdapat lahan milik warga seluas 35 hektar.
"Mengabulkan gugatan penggugat, menolak eksepsi para tergugat,"terang
Hakim Efran saat membacakan amar putusannya.
Putusan hakim itu langsung disambut tangisan ratusan warga tanjungsari.
Mereka juga melakukan sujud syukur atas kemenangan mereka. "Ini kemenangan
dari doa kalian, jangan pernah meninggalkan Sholat,"ujar Kuasa Hukum Warga
Tanjungsari, Eggi Sudjana pada ratusan warga. Seperti gugatan tersebut
dilayangkan 98 Kepala Keluarga Warga Tanjungsari Surabaya. Mereka menganggap
para pengusaha pengembang rumah mewah itu telah mencaplok tanahnya selama 48
tahun.
Dijelaskan dalam gugatan, Pada tahun 1973, tiga perusahaan selaku
tergugat tersebut, bermula bernama CV Pembangunan Darmo. Dan pada tahun
1973 mereka membebaskan lahan sengekta ini melalui Panitia Pembebasan
Tanah Untuk Negara (P2TUN) yang dibentuk Pemkot Surabaya, Kala itu bernama
Pemerintah Kotamadya Dati II Surabaya.
Pembebasan itu sebenarnya digunakan untuk kepentingan rakyat, seperti
Sekolah, Perumahan Rakyat, Pelabuhan, Rumah Sakit. Tapi nyatanya ijin prinsip
yang dimiliki tergugat (sebelumnya bernama CV Pembangunan Darmo,red) telah
disalah gunakan untuk perumahan mewah.
Seiring waktu dengan ganti nama dari Kepala Pemerintahan, dari Kodya Dati II
Surabaya menjadi Pemkot Surabaya, Pada Tahun 2003, Walikota Surabaya yang saat
itu dijabat Bambang Dwi Hartono (DH) meminta supaya Badan Pertanahan Nasional
(BPN) Surabaya membatalkan dua sertifikat yang diterbitkannya untuk pihak
tergugat.
Permintaan pembatalan penerbitan sertifikat nomor
2083 dan 2084 pada tahun 2002 tersebut, didasari atas hasil rekapitulasi
pembebasan yang dilakukan P2TUN tahun 1973.Surat Keputusan Walikota itu digugat
pihak tergugat ke PTUN Surabaya, tapi gugatannya kalah hingga ke tingkat kasasi
Mahkamah Agung (RI).Kendati demikian, pihak BPN Surabaya tetap mengabaikan SK
Walikota Surabaya era Bambang DH dengan tidak melakukan pembatalan. (ban)