Surabaya Newsweek-
Kenakalan remaja yang kerap terjadi anak di Surabaya, disebabkan karena
kurangnya pendekatan emosional seperti, sentuhan kasih sayang dan empati
pengasuhan anak , karena pengasuhan anak yang salah berakibat pada peningkatan
kenakalan usia remaja.
Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini kepada sekitar 300 guru
SMP se-Surabaya bagian barat, ketika menghadiri Gerakan Nasional Anti Kejahatan
Seksual Anak (GN-Aksa) di Graha Sawunggaling, lantai VI kantor Pemerintah Kota
(Pemkot) Surabaya menjelaskan, bahwa pentingnya sentuhan kasih dan pengasuhan
anak yang benar.
“Ini gerakan bersama. Anak-anak kita bukan hanya dibekali intelektual saja. Kalau itu saja, mereka bisa menjadi orang yang jahat. Harus diberi kasih sayang dan juga empati. Ini penting untuk membentuk karakter anak,” ujar wali kota.
Menurut wali kota, para guru, orang tua, lurah, hingga ketua Rukun Tetangga (RT) harus memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap tumbuh kembang anak-anak. Mulai di rumah, sekolah dan juga lingkungan tempat tinggal. Orang tua di rumah harus lebih sering berkomunikasi dengan anak. Begitu juga dengan para guru di sekolah.
Ini karena tantangan dan godaan yang dihadapi oleh generasi sekarang, berbeda jauh dengan tantangan pada masa kecil para guru dan dan orang tuanya. Salah satu parameternya, kejadian yang mengarah pada kejahatan seksual maupun kasus trafficking anak, acapkali bermunculan di negeri ini.
“Ini gerakan bersama. Anak-anak kita bukan hanya dibekali intelektual saja. Kalau itu saja, mereka bisa menjadi orang yang jahat. Harus diberi kasih sayang dan juga empati. Ini penting untuk membentuk karakter anak,” ujar wali kota.
Menurut wali kota, para guru, orang tua, lurah, hingga ketua Rukun Tetangga (RT) harus memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap tumbuh kembang anak-anak. Mulai di rumah, sekolah dan juga lingkungan tempat tinggal. Orang tua di rumah harus lebih sering berkomunikasi dengan anak. Begitu juga dengan para guru di sekolah.
Ini karena tantangan dan godaan yang dihadapi oleh generasi sekarang, berbeda jauh dengan tantangan pada masa kecil para guru dan dan orang tuanya. Salah satu parameternya, kejadian yang mengarah pada kejahatan seksual maupun kasus trafficking anak, acapkali bermunculan di negeri ini.
“Banyak sekali godaannya anak-anak sekarang, tidak sama
dengan kita dulu. Ada program televisi, gadget dan sebagainya. Ayo kita rangkul
mereka. Kalau semua peduli, saya yakin anak-anak kita akan selamat dari semua
godaan,” sambung wali kota.
Menurutnya, kegiatan ini tidak berhenti sekali ini. Tetapi akan terus berlanjut dengan melibatkan orang tua, lurah, dan juga ketua Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Ini karena kegiatan GN Aksa tidak hanya diperuntukkan untuk orang dewasa saja namun, juga kepada anak-anak melalui sekolah dan karang taruna. Kegiatan ini sudah digalakkan di Surabaya sejak 2015. Sebelumnya Pemkot Surabaya mengundang kader Bina Keluarga Bahagia (BKB) se-Kota Surabaya.
"Saya nanti juga akan ketemu dengan RT/RW untuk penangkalan kejahatan seksual ini. Saya akan lakukan dengan anak-anak, psikolog, BNN dan karang taruna," sambung ibu dari dua anak ini.
Psikiater Nalini Muhdi yang juga hadir dalam acara tersebut, membenarkan bahwa situasi yang dihadapi anak-anak generasi sekarang, jauh lebih berat dibandingkan anak-anak zaman dulu. Sehingga, anak-anak seolah-olah kehilangan kebahagiaannya dengan banyaknya kewajiban yang harus ia selesaikan. Seharusnya, seperti di negara-negara maju, pengajaran anak sejak kecil, lebih ditekankan pada kognitif nya. Yakni lebih mementingkan pada proses belajar nya ketimbang hasilnya.
“Di negara maju, guru pendidikan dasar itu justru professor dan guru senior. Anak-anak diajari kognitif seperti diajak antre di tempat umum untuk menumbuhkan kesadaran agar sabar menunggu dan tidak mengambil hak orang lain atau juga menyeberang jalan di zebra cross,” ujarnya.
Karenanya, konsultan RSU Dr Soetomo ini menekankan agar para orang tua dan para guru, mampu untuk memposisikan dirinya sebaga pendengar dari anak-anak. Bukan sebaliknya. Seharusnya, orang tua dan guru tidak menempatkan dirinya dalam posisi yang lebih tinggi dari anak.
Menurutnya, kegiatan ini tidak berhenti sekali ini. Tetapi akan terus berlanjut dengan melibatkan orang tua, lurah, dan juga ketua Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Ini karena kegiatan GN Aksa tidak hanya diperuntukkan untuk orang dewasa saja namun, juga kepada anak-anak melalui sekolah dan karang taruna. Kegiatan ini sudah digalakkan di Surabaya sejak 2015. Sebelumnya Pemkot Surabaya mengundang kader Bina Keluarga Bahagia (BKB) se-Kota Surabaya.
"Saya nanti juga akan ketemu dengan RT/RW untuk penangkalan kejahatan seksual ini. Saya akan lakukan dengan anak-anak, psikolog, BNN dan karang taruna," sambung ibu dari dua anak ini.
Psikiater Nalini Muhdi yang juga hadir dalam acara tersebut, membenarkan bahwa situasi yang dihadapi anak-anak generasi sekarang, jauh lebih berat dibandingkan anak-anak zaman dulu. Sehingga, anak-anak seolah-olah kehilangan kebahagiaannya dengan banyaknya kewajiban yang harus ia selesaikan. Seharusnya, seperti di negara-negara maju, pengajaran anak sejak kecil, lebih ditekankan pada kognitif nya. Yakni lebih mementingkan pada proses belajar nya ketimbang hasilnya.
“Di negara maju, guru pendidikan dasar itu justru professor dan guru senior. Anak-anak diajari kognitif seperti diajak antre di tempat umum untuk menumbuhkan kesadaran agar sabar menunggu dan tidak mengambil hak orang lain atau juga menyeberang jalan di zebra cross,” ujarnya.
Karenanya, konsultan RSU Dr Soetomo ini menekankan agar para orang tua dan para guru, mampu untuk memposisikan dirinya sebaga pendengar dari anak-anak. Bukan sebaliknya. Seharusnya, orang tua dan guru tidak menempatkan dirinya dalam posisi yang lebih tinggi dari anak.
“Kita dengar mereka. Sehingga kita tahu permasalahannya
mereka. Sebagai guru, juga jangan menempatkan lebih tinggi. Karena anak-anak
itu little professor, apa yang mereka sampaikan itu acapkali benar. Bahkan
kadang lebih cerdas dari kita,” sambung dosen Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga ini.( Ham)