Surabaya Newsweek-
Mengacu pada kejadian bangunan Cagar
Budaya yang dibongkar dijalan Mawar Surabaya, Agustin Poliana Ketua Komisi D
DPRD Surabaya minta pemerintah kota menggandeng perusahaan swasta untuk
pemeliharaan bangunan cagar budaya (BCB). Yakni dengan melibatkan perusahaan
swasta sebagai orang tua asuh BCB melalui program CSR (corporate social responsibility).
Permintaan itu disampaikan Agustin Poliana, saat rapat
dengar pendapat soal bangunan cagar budaya di ruang Komisi C, Senin lalu.
Menurutnya, dengan menggandeng pihak swasta, jika ada keterbatasan dana APBD
untuk merawat BCB, ada pendapatan lain yang dapat digunakan.
"Itu untuk mempermudah proses pemeliharaan,"
kata Titin, sapaan akrab Agustin Poliana.
Dia mengakui, dibutuhkan dana yang tidak sedikit untuk
memelihara BCB di Surabaya. Selain Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tinggi, biaya
operasional juga tak sedikit.
"Kalau pemkot tidak mencari CSR, akan terasa berat,
akhirnya tidak terurus. seperti bangunan di Jalan Tunjungan, di dalam bangunan
gedungnya itu sudah bolong semua," ungkapnya.
Perhatian terhadap bangunan bersejarah, tambah Titin,
bukan hanya dengan menetapkan statusnya. Kemudian pembenahan dilakukan hanya
saat momen-momen tertentu, seperti menjelang pelaksanaan Surabaya sebagai tuan
rumah Prepatory Committe (PrepCom) 3 for UN Habitat III, Juli mendatang.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Surabaya, Wiwiek Widayati mengungkapkan, saat ini ada dua CSR
yang sudah masuk, yakni dari Nippon Paint dan Rabo Bank. Kedua perusahaan
tersebut sudah melakukan pengecatan pada BCB.
"Keduanya sama-sama memberikan bantuan cat untuk
bangunan cagar budaya. Rabo Bank juga berupa cat, bahkan mereka mengecatnya
sendiri," terang Wiwiek.
Menurut dia, Surabaya saat ini memiliki 273 bangunan
cagar budaya dengan perincian pihak yayasan memiliki 38 unit, pemerintah
kota/provinsi 74, BUMN 27 unit, swasta 67 unit, dan perseorangan 64 unit.
"Dari sebanyak 273 bangunan cagar budaya yang ada,
sebagian dimiliki masyarakat," kata Wiwik.
Dia menerangkan, langkah pemerintah kota dalam menjaga
kelestarian bangunan, situs dan kawasan cagar buaya, di antaranya dengan
memberi keringanan PBB hingga 50 persen, kemudian melakukan pengecatan, hingga
perbaikan secara fisik yang dilakukan Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR)
di kawasan Surabaya Utara.
"Seperti di kawasan Ampel disitu ada intervensi dari
DCKTR, kemudian di sekitar Rajawali yang dibangun pedestrian," katanya.
Wiwik menyebutkan, tidak semua dari bangunan cagar budaya
yang ada, setelah ditetapkan tak ada optimalisasi pemanfaatan. Dia mencontohkan
di beberapa bangunan cagar budaya, seperti gedung House of Sampoerna, gedung
Cak Durasim, PTPN, Rumah HOS Cokroaminoto dan WS Supratman, justru telah
digunakan sebagai destinasi wisata.
"Bangunan- bangunan itu secara ekonomis telah
digunakan untuk tempat wisata," jelas Wiwiek.
Namun, imbuhnya, untuk optimalisasinya masih membutuhkan
langkah revitalisasi, seperti pembangunan area parkir dan pembenahan bangunan.(
Ham )