Surabaya Newsweek – Polemik Raperda Mihol diruang lingkup DPRD
Kota Surabaya semakin memanas, Panitia Khusus (Pansus) dan Pimpinan DPRD Surabaya terkait, Raperda
minuman beralkohol (Mihol) terus menjadi perdebatan internal Dewan.
Kemarin misalnya, Ketua DPRD Surabaya Armuji
menuding Ketua Pansus Raperda
Mihol, Edi Rachmat yang justru bermain. Tudingan itu dilontarkan Armuji menanggapi kecurigaan Pansus Mihol
terhadap pimpinan dewan.
Bahwasanya, ada upaya
tersetruktur untuk menganggalkan Perda Mihol. Caranya dengan menolak
hasil pembahasan Pansus dan
mengembalikannya ke Pemkot Surabaya. “Justru ketua pansus yang mempermainkan. Itu dulinane ( itu mainannya –
Red ) ketua Pansus. Gara-gara gagal melobi, dia ngamuk-ngamuk. Sehingga
semua dilarang,bayangkan, masa membahasa dua pasal saja sampai dua kali
perpanjangan,”tuding Armuji.
Dugaan itu, lanjut
Armuji, begitu kuat karena perubahan sikap Ketua Pansus Edi Rachat atas
pembahasan Perda Mihol. Dari semula setuju mihol dijual di Hypermat dan Supermarket menjadi
menolak. Tidak hanya di hypermart
saja. Tetapi juga di seluruh tempat, termasuk hotel dan tempat hiburan malam. Armuji berdalih, bahwa keputusannya menolak hasil
Pansus Mihol sudah prosedural.
Sebab, tidak mungkin bagi pimpinan dewan membahas hasil raperda dari Pansus yang sudah habis masa kerjanya.
“Dua hari sebelum masa habis
mereka (Pansus) baru menyerahkan. Lalu kapan kami membahas.
Padahal, agenda Rapat
Pansus itu setiap hari Senin. Apalagi, saat itu bersamaan dengan agenda
reses,”dalihnya. karena itu,
pihaknya bersama pimpinan dewan lain memutuskan untuk menolak hasil Pansus. “Kalau kami teruskan, justru
mekanismenya salah. Karenanya,
kami sampaikan ini ke Pemkot Surabaya untuk dibentuk Pansus baru lagi,”akunya.
Terkait keputusan ini
(membentuk pansus baru), politisi PDIP ini mengaku karena Pansus lama sudah dua kali
diperpanjang. Sehingga tidak mungkin
ditambah lagi. “Lazimnya perpanjangan hanya dua kali. Tidak boleh lebih,”tegasnya.
Ketua Pansus Raperda
Mihol Edi Rachmat memilih diam atas tudingan ketua DPRD tersebut. Hanya, dia
tetap berkeyakinan bahwa apa yang diputuskan
sudah tepat. “Terserah saya dituding apapun. Yang jelas, saya clear and clean. Bagaimana mungkin saya
main-main. Sementara pansus ini
terdiri dari banyak anggota,”tegasnya.
Kendati demikian, Edi
tetap menganggap ada sesuatu yang janggal terkait sikap pimpinan dan bagian hukum Pemkot
Surabaya atas hasil Pansus
tersebut. Bagian Hukum Pemkot Surabaya misalnya, tidak mau menyerahkan draf raperda dan menyaratkan ada risalah
dari pimpinan dewan. Padahal
mestinya Pansus saja sudah cukup. “Anehnya,
ketua juga mengamini. Malah dia menganggap waktu sudah habis. Padahal, jelas-jelas laporan itu kami serahkan
14 Maret. Ketua DPRD sendiri yang
menerima. Sementara baru tanggal 18 Maret masa kerja Pansus habis,”ungkapnya.
Meski begitu, Edi
tidak mempersoalkan bilamana ada pansus baru terkait raperda Mihol tersebut. Sebab,
baginya, pansus sudah berakhir dan pembahasan
telah selesai. “Pada Paripurna Senin (18/4) nanti. Saya akan tetap laporkan,”ungkap politisi Hanura ini.
Edi juga menyampaikan bahwa keputusan Pansus
melarang mihol beredar di Surabaya
adalah atas masukan banyak pihak, termasuk Nahdlatul Ulama (NU). Bukan atas sikap Pansus secara pribadi.
“Sudahlah, persoalan Mihol ini
memang sensitive. Sehingga memang harus hati-hati,”pungkasnya
PCNU
Kecam Putusan Banmus Sementara
itu, penolakan hasil pembahasan Raperda memantik kemarahan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU). Mereka
menganggap penolakan tersebut
adalah bagian dari proses permainan yang melibatkan pihak-pihak luar yang berkepentingan dalam peredaran
mihol. Ketua Tandfidziyah PCNU
Kota Surabaya Achmad Muhibbin Zuhri menilai, anggota Banmus dan anggota DPRD yang tidak ingin
menindaklanjuti keputusan Pansus
sebagai sikap politik Immoral, “Mereka kelihatannya melakukan apa saja untuk mengganjal lolosnya
pelarangan peredaran Miras. Ini
politik immoral. Mengabaikan nilai-nilai moral dalam berpolitik,” ujarnya.
Muhibbin menduga ada
persekongkolan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap peredaran miras dengan
orang-orang dalam DPRD. “Jangan-jangan ada yang happy dengan peredaran miras di Surabaya dan semakin rusaknya
moral generasi muda surabaya akibat peredaran
miras,”katanya.
Upaya penjegalan
raperda larangan Mihol tersebut, lanjut Muhibbin sudah mulai terlihat sejak
pansus memutuskan tekad tersebut. Ini diketahui setelah kedatangan rombongan para ulama dari PCNU Kota
Surabaya. Saat itu, pansus akhirnya mengubah
arah pembahasan raperda mihol.
Dari semula pembatasan dan pengendalian mihol menjadi pelarangan. “Enam orang dari 10 anggota pansus penyetujui pelarangan total
peredaran mihol. Sedangkan empat di antaranya
tetap bergeming larangan mihol
hanya di supermarket dan hipermart. Akhirnya, pansus memutuskan pelarangan total,”ujarnya.
NU Surabaya menilai
keputusan pelarangan minuman beralkohol tersebut didasarkan pada komitmen bersama
untuk mewujudkan Surabaya bebas narkoba
dan mihol. “Namun kini nasib keputusan itu menjadi tidak jelas, setelah Banmus tidak menindaklanjuti hasil
Pansus,”tegasnya.
Untuk itu, PCNU Kota
Surabaya akan menyerukan pemberian sanksi moral kepada para anggota DPRD yang
dinilai pro-peredaran miras. “Kami akan menggerakkan pemberian sanksi moral kepada pihak-pihak yang tidak
sensitif, terhadap keinginan warga surabaya
untuk membebaskan kotanya dari
peredaran Narkoba dan Miras,”Imbuhnya. ( Ham
)