Agus, pemilik usaha kripik ceker |
SURABAYA - Usaha Kecil Menengah (UKM) memang sangat penting dalam mendongkrak perekonomian masyarakat. Selain itu UKM atau yang biasa disebut dengan usaha industri rumahan dapat mengurangi pengangguran. Namun, Home Industry yang semakin marak dan berkembang dapat memunculkan masalah baru terhadap lingkungan.
Dalam kegiatan produksi Industri rumahan (home industry) terkadang tak memikirkan dampak yang ditimbulkan dari proses produksinya terhadap lingkungan. Salah satunya limbah yang dihasilkan setiap proses pembuatan atau produksi. Pemilik usaha biasanya hanya memikirkan bagaimana usahanya maju dan berkembang. Tetapi, tidak dipikirkan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan masyarakat sekitarnya.
Mereka juga tak mengenal Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Sebab mereka memiliki mindset (pola pikir) jika usaha kecil tak perlu mengurus izin yang serumit itu. Yang terpenting usahanya bisa terus berjalan. Padahal dizaman Bumi yang semakin bobrok ini seharusnya setiap pelaku usaha sekecil apapun memfikirkan dampak produksinya terhadap lingkungannya.
Yang terbaru ini, Soerabaia Newsweek mendapati temuan home industry yang langsung membuang limbah produksi langsung ke saluran air buangan umum (selokan). Saluran air buangan itu juga merupakan saluran umum yang digunakan warga sekitar. Hingga saat musim penghujan yang sedang melanda saat ini, terkadang saluran air buangan itu tak kuat menampung. Akibatnya air buangan yang bercampur limbah meluber dan menimbulkan bau tak sedap yang sangat menyengat.
Home industry yang sembarangan membuang limbah itu, yakni- memproduksi kripik ceker berlabel Mentari. Setiap harinya di rumah produksi yang beralamat Jl. Petemon Kali IIA, Surabaya. Sedangkan kripik ceker itu dijajakan di toko yang tak jauh dari lokasi produksi, yakni di Jl. Petemon Kali. Pemilik dari UKM kripik ceker itu, Agus, saat dikonfirmasi dirumahnya, Jl. Petemon I No 38, Surabaya, mengungkapkan usahanya sudah berjalan sejak tahun 2000 atau kurang lebih sudah 16 tahun.
Limbah hasil produksi yang berupa kaldu hasil merebus ceker itu menggumpal berbentuk seperti jelly mengambang di saluran air pembuangan. Dia juga menampik jika langsung membuang sampah produksinya langsung. Namun, fakta di lapangan banyak limbah yang terlihat. Limbah itu juga menimbulkan bau busuk. Agus juga terkesan jarang sekali membersihkan dan terkesan membiarkan limbahnya berceceran di selokan. Kondisi seperti itu sangat mengganggu dari nilai estetika lingkungan. Dan bau yang ditimbulkan membuat tidak nyaman saat melewati atau berada disekitar saluran air pembuangan.
Agus juga tidak bisa menunjukkan ijin usaha, dagang, dokumen pendukung lain seperti misalnya; HO (ijin gangguang), dan dokumen AMDAL dari usahanya itu. Dia hanya mencantumkan nama label dan ijin dari Depertemen Kesehatan (Depkes) di plakat yang terpasang depan rumah produksinya.
Saat dimintai keterangan terkait ijin yang harusnya dipenuhi. Dia hanya mengandalkan hubungan baik saja antar tetangga. Agus juga menyebut nama Lurah setempat yang mengatakan tidak penting untuk izin tersebut."Saya tidak punya mas dokumen Amdal, yang penting baik sama tetangga, sudah tidak masalah," ujar Agus di rumahnya.
Padahal Menteri Lingkungan Hidup sedang berusaha untuk memperbaiki lingkungan. Menyoroti industri agar ramah lingkungan dalam hal proses produksi maupun limbahnya. Sedangkan bos pemilik usaha ceker malah tak pedulikan lingkungan akibat limbahnya itu. Terkait temuan itu, Soerabaia Neesweek akan mencoba menghubungi dinas atau pihak terkait untuk mengklarifikasi temuan itu.(dio)