Surabaya Newsweek- Perjuangan RSUD dr M. Soewandhie
menjadi rumah sakit (RS) pendidikan ditentukan hari ini, Jumat (7/8). RS milik
pemkot yang berlokasi di Jl. Tambahrejo itu akan dinilai kelayakannya oleh tim
dari Kementerian Kesehatan (kemenkes) RI yang beranggotakan enam orang.
Ketua tim penilai, dr. Ina Rosalina Dadan, SP.A, M.Kes,
MH.Kes mengatakan, para anggota tim yang akan melakukan assessment datang dari berbagai latar belakang, di antaranya dari
unsur pemerintahan dalam hal ini kementerian maupun para akademisi dan
praktisi.
Rosalina menyadari bahwa RSUD dr M. Soewandhie sudah
dimanfaatkan sebagai tempat menimba ilmu para dokter muda maupun senior sejak
1998. Mereka umumnya mencoba menggali kasus yang terjadi di masyarakat. Dengan
demikian, pemahaman ilmu kedokteran akan semakin berkembang.
Untuk itu, Rosalina menambahkan, tanggung jawab pihaknya
selanjutnya adalah melakukan akreditasi RS pendidikan terhadap RSUD dr M.
Soewandhie. “Kalau ada kekurangan langsung kami sampaikan kepada pihak rumah
sakit agar segera dibenahi. Jika semuanya lancar, izin penetapan RS pendidikan
akan turun dalam waktu dekat,” terang perempuan yang juga menjabat Kasubdit Bina
Yankes Rujukan, Dirjen Bina Upaya Kesehatan (BUK), Kemenkes RI ini.
Walikota Surabaya Tri Rismaharini menyatakan, di Kota
Pahlawan banyak universitas dengan fakultas kedokteran. Oleh karenanya, tempat
praktik bagi para dokter muda sangat diperlukan untuk meningkatkan wawasan
mereka. “Seseorang tidak bisa hanya belajar dari teori saja. Mereka butuh studi
kasus yang nyata di lapangan. Bagi para dokter, mereka perlu banyak terlibat di
rumah sakit,” kata Risma -sapaan Tri Rismaharini- saat menerima rombongan tim
penilai di balai kota.
Mantan kepala bappeko tersebut lantas membagi pengalamannya
saat berkunjung ke Korea Selatan (Korsel). Di Negeri Ginseng itu, dunia
kedokteran sudah sangat maju. Menurut Risma, keberhasilan tersebut dikarenakan
pemerintah Korsel mampu menggabungkan unsur teori dan praktik lapangan dengan
baik. “Makanya, semakin banyak menjumpai kasus di masyarakat, dokter itu akan
semakin berpengalaman,” paparnya.
Guna mempercepat peningkatan status RSUD dr M. Soewandhie
menjadi RS pendidikan, Risma bahkan sempat menghadap Menteri Kesehatan RI pada
pertengahan tahun ini. Tujuannya, agar akreditasi RS pendidikan dapat segera
dilaksanakan.
Sementara itu, Kadinkes Surabaya Febria Rachmanita
menjelaskan, usulan penetapan RS pendidikan sejatinya sudah diajukan sejak awal
Mei 2015. Awalnya, RSUD dr M. Soewandhie mengajukan untuk RS pendidikan utama.
Namun, aturan mewajibkan peningkatan status harus bertahap, sehingga RSUD dr M.
Soewandhie harus berlabel RS pendidikan satelit dulu. “Setelah dua atau tiga tahun
baru bisa naik menjadi RS pendidikan utama,” ujarnya.
Pejabat yang akrab disapa Fenny ini mengatakan, meski
dijadikan tempat pembelajaran oleh para dokter muda, namun mereka (dokter
muda,red) belum boleh menangani pasien secara langsung. Dokter muda hanya
diperbolehkan observasi dengan didampingi dokter senior.
Fenny melanjutkan, adapun antara RS pendidikan dan
non-pendidikan memiliki sejumlah perbedaan mendasar. RS non-pendidikan tidak
memerlukan dokter klinis. Di samping itu juga tidak ada penelitian. Sedangkan
RS berlabel pendidikan memperbolehkan dilaksanakannya penelitian akan suatu
kasus penyakit. Jika sudah berstatus RS pendidikan, maka pihak RS tentu juga
meningkatkan sumber daya manusia (SDM) para dokternya menjadi dokter klinis.
“Dengan adanya penelitian, setiap penyakit akan didiskusikan.
Dari hasil itu, wawasan para dokter akan bertambah sehingga hal itu berdampak
positif terhadap pelayanan kesehatan masyarakat,” imbuh alumnus FKG Universitas
Prof. Dr. Moestopo ini.
Dari sisi usia pensiun dokter spesialis di RS pendidikan juga
lebih panjang, yakni 65 tahun. Sedangkan dokter spesialis pada RS
non-pendidikan pensiun pada 60 tahun.
Lebih lanjut, Fenny memaparkan, aspek-aspek yang akan dinilai
dalam assessment oleh kemenkes
meliputi jumlah dokter, sarana/prasarana, buku pedoman ajar mahasiswa, serta
laporan progres dokter muda. Fenny mengatakan, sebelumnya pihak RSUD dr M.
Soewandhie telah melakukan self-assessment.
Hasilnya, sudah memenuhi prinsip RS pendidikan sebanyak 80 persen. “Rumah sakit
kami ini minimalis, tapi semua sudah terpenuhi. Seperti ruang diskusi dan ruang
kuliah juga sudah ada di sini. Oleh karenanya kami optimis dapat mengantongi
izin penetapan RS pendidikan dari kementerian,” tuturnya.
Izin penetapan RS pendidikan bukanlah target terakhir yang
dibidik RSUD dr M. Soewandhie. Pada Oktober mendatang, RS yang kini tengah
menggenjot pembangunan gedung baru ini akan mengejar sertifikasi akreditasi RS
versi 2012 dari Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS).
Menurut Fenny, persyaratan sertifikasi tersebut lebih berat
karena penilaian lebih detail dan komprehensif. Obyek penilaian mulai dari
pasien, satpam, cleaning service,
dokter, perawat serta pihak manajemen. Parameter hak-hak pasien juga akan
disoroti lebih detail dan terperinci.
Sertifikasi akreditasi yang berlaku tiga tahun ini, kata
Fenny, sangat penting karena sebagai salah satu persyaratan perpanjangan izin
operasional sebuah rumah sakit. “Sejauh ini kami tetap optimistis menyongsong
akreditasi dari KARS ini karena itu menjadikan motivasi demi peningkatan
kualitas mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat,” pungkasnya.( Ham )