Surabaya Newsweek- Belum tuntasnya masalah Pasar Turi
mendapat tanggapan dari Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Menurut dia, problem
Pasar Turi sangat pelik karena menyangkut tiga pihak, yakni pemerintah kota,
investor dan pedagang.
Risma -sapaan Tri Rismaharini- mengatakan, hubungan antara pemkot
dengan PT. Gala Bumi Perkasa (GBP) (Jo) selaku investor berupa perjanjian
bangun guna serah atau BOT (build,
operate, transfer). Di sisi lain, PT. GBP juga memiliki perjanjian dengan
para pedagang. “Namun, dalam hal ini, pemkot sama sekali tidak terlibat,” kata
Risma saat memberikan keterangan pers di balai kota, Jumat (19/6).
Sesuai perjanjian awal antara pemkot dengan investor, bahwa
pihak investor wajib menyelesaikan proses pembangunan Pasar Turi dalam tenggat
waktu 24 bulan terhitung sejak tanggal berita acara penyerahan obyek
ditandatangani para pihak. Kenyataan di lapangan, pembangunan meleset dari
target sehingga adendum kontrak diperlukan.
Untuk itu, pemkot dan PT. GBP beberapa kali mengadakan
pertemuan guna membahas adendum tersebut. Lebih lanjut, PT. GBP melalui surat
nomor 043/DIR/GBP/III/2014 tanggal 7 Maret 2014 memohon persetujuan perubahan
hak pakai stan (HPS) menjadi hak milik atas satuan rumah susun atau strata title.
Menanggapi keinginan tersebut, pemkot secara tegas menolak.
Hal ini setelah mempertimbangkan beberapa pendapat hukum (legal opinion) dari sejumlah pihak, antara lain Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan Negeri Surabaya, kementerian dalam
negeri, kementerian keuangan serta tak ketinggalan pakar hukum dari kalangan
akademisi.
“Semua pihak yang kita mintai pendapat hukum sepakat bahwa strata title dalam permasalahan Pasar
Turi ini tidak diperbolehkan karena menyalahi aturan yang berlaku,” terang
Risma.
Dengan mengacu perjanjian BOT antara pemkot dengan investor,
bahwa setelah 25 tahun, pengelolaan Pasar Turi akan diserahkan kembali kepada
Pemkot Surabaya. Jika diberlakukan strata
title, maka status stan akan menjadi milik para pedagang. Padahal,
seharusnya kepemilikan stan tetap pada pemkot, sementara pedagang diberi izin
menggunakan stan.
“Kalau sampai itu (Pasar Turi) jadi strata title, justru saya yang salah. Sebab itu tidak sesuai
aturan,” paparnya.
Selain soal strata
title, Risma juga mengungkapkan kondisi di internal pedagang Pasar Turi.
Menurut mantan Kepala Bappeko ini, pedagang Pasar Turi sedang terpecah menjadi
dua kubu. Ada yang setuju masuk ke Pasar Turi Baru dan ada yang tetap memilih
bertahan di tempat penampungan sementara (TPS).
Pedagang yang masih enggan masuk ke Pasar Turi Baru umumnya
yang merasa keberatan dengan kebijakan investor. Utamanya terkait service charge, bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan (BPHTB) serta pungutan-pungutan lainnya.
Terkait desakan segera membongkar TPS, Risma menilai bahwa
pemkot tidak bisa serta-merta memaksa pedagang untuk masuk ke Pasar Turi Baru.
Sebab, pemkot punya kewajiban melindungi seluruh pedagang, baik itu yang setuju
maupun yang menolak masuk.
Walikota menilai keberadaan TPS saat ini tidak mengganggu
akses masuk ke Pasar Turi Baru. Kendaraan pengunjung maupun truk milik pedagang
bisa dengan lancar keluar-masuk Pasar Turi Baru. Dia mempersilakan para
pedagang yang ingin masuk karena itu merupakan hak masing-masing pedagang.
“Intinya kami (pemkot) tidak punya hak memaksa pedagang untuk masuk atau pun
menghalang-halangi pedagang yang hendak masuk ke bangunan Pasar Turi Baru,”
terangnya.
Ditanya upaya pemkot selanjutnya, Risma menjawab singkat.
“Nanti, nanti. Kalau itu nanti pasti ada langkah hukumnya,” ujarnya.
Berdasar pendataan pemkot, saat ini masih ada 496 pedagang
yang memilih bertahan berjualan di TPS. ( Ham
)