Surabaya Newsweek - Penutupan Lokalisasi Dolly memang tak semudah
yang dibayangkan, banyak liku – liku yang harus dihadapi oleh Pemkot Surabaya
dalam rencana penutupan tersebut , seperti contoh para Pekerja Sek Komersil
yang demo beberapa waktu yang lalu bahkan ada yang mengkirim surat ke Presiden
.
Ada juga yang perbedaaan
persepsi antar DPRD Kota Surabaya, secara logika publik menilai banyaknya kepentingan dalam penutupan Dolly
dan memanfaatkan kesempatan yang dinilai bisa mendokrak popularitas perindividu
Ketua DPRD Kota Surabaya
Machmud yang awalnya menilai aksi
tersebut hal yang biasa dan masih sebatas kewajaran namun lama- lama dia ( Machmud – Red ), merasa gelisah
menjelang Penutupan Dolly 18 Juni 2014 , karena diketahui ada kejanggalan lewat
kop surat yang sama semua , pihaknya curiga ada yang menyuruh serta
membuatkan isi surat tersebut ,” Mana mungkin PSK bisa menulis surat sekreatif
itu , pasti ada yang mengarahkan,” Ujar Machmud dibalai Kota Surabaya.
Namun demikian
Machmud tidak merasa gelisah
walaupun surat tersebut dikirimkan
kepresiden , ia menambahkan walaupun
dilaporkan ke malaikat saja juga tidak masalah , tapi semua itu tetap mendukung
keputusan Walikota Surabaya untuk menutup lokalisasi yang terbesar di asia
Tenggara,” Ungkap Machmud.
Machmud juga
menambahkan bahwa Dolly merupakan tempat
Ilegal dan jelas melanggar Peraturan Daerah ( Perda ), nomor
7 Tahun 1999 , untuk
itu DPRD Kota Surabaya menyarankan Dolly harus ditutup secara permanen , bahkan
Machmud menyarankan Walikota Surabaya eks Lokalisasi nantinya bisa dijadikan
pusat bisnis , setra Pedagang Kaki Lima ( PKL ), atau apa saja yang bisa
membantu pemasukan ekonomi warga yang
terdampak setiap harinya ,” Tambah
Machmud.
Masih Machmud , kalau
bisa Pemkot Surabaya membeli 52 wisma
prostitusi Dolly dan kemudian dialih fungsikan menjadi masjid, lembaga sosial
atau tempat lain yang positif sifatnya.
‘’Yang namanya merubah
pendapatan haram menjadi halal ya tempatnya harus dihentikan sementara.
Kemudian dibuka kembali untuk mendapat penghasilan halal, jadi yang penting
masalahnya disitu selesai,’’ katanya.
Untuk mencegah agar PSK tersebut tidak kembali menjajakan diri pasca penutupan, pihaknya menegaskan harus ada
pengawasan berlapis. Mulai dari tingkat satuan polisi pamong praja (satpol PP)
hingga aparat kepolisian. Ketika sudah tidak ada tempat dan fasilitas, kata
dia, para PSK sudah tida bisa menjual diri lagi karena sudah tegas dilarang.
Para PSK, kata dia, juga akan dipulangkan ke
kampung halaman. Namun ia menekankan pengawasan pasca penutupan Dolly juga
harus terus dilakukan, misalnya operasi yustisi. Jika masih ada yang nekat
melanggar, kata Machmud, aparat harus bertindak tegas dengan
menangkapnya seperti yang terjadi di bekas lokalisasi Sememi beberapa waktu
lalu.
‘’Apalagi PSK nya
sudah menerima uang kompensasi dan diantar pulang ke kampung halamannya. Mereka
masih beruntung dibandingkan pedagang kaki lima (PKL) yang merupakan orang
Surabaya tetapi terkena razia namun tidak dapat kompensasi,’’ ujarnya.
Artinya, kata dia,
Pemkot Surabaya sudah melakukan upaya yang bagus untuk menutup Dolly dengan
menyantuni PSK dan mucikari. Seperti memberikan kompensasi, memberi pelatihan
hingga mengantar pulang ke kampung halaman. Padahal pemerintah di daerah asal
PSK ini belum tentu melakukan hal yang sama.
Sebelumnya, ribuan
pekerja seks komersial (PSK) lokalisasi prostitusi Dolly-Jarak, Kota Surabaya
secara serentak menulis surat untuk SBY dan Komnas HAM, Rencananya, hasil
tulisan yang telah dibuat tersebut akan diserahkan ke Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) .
“Kita di sini bekerja
untuk menghidupi keluarga bukan senang-senang. Makanya kita akan tetap berjuang
dan melawan agar lokalisasi tidak ditutup,” kata salah seorang penghuni
lokalisasi.
Salah satu penghuni
lokalisasi, Dian, meminta agar presiden SBY membatalkan rencana penutupan
lokalsasi. Mengingat, pemerintah hingga saat ini belum menyediakan lahan
pekerjaan yang layak bagi warganya.
“Selama ini pemerintah
hanya memikirkan diri sendiri. Pemerintah tidak pernah memikirkan nasib kami.
Padahal jika kita harus di desa, kita sangat kekurangan,” kata Dian saat
mengungkapkan curahan hatinya.
Penghuni lokalisasi
lainnya, Rani secara tegas menuding Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sebagai
penjahat bagi rakyatnya sendiri.
Menurut dia, jika
Risma dihadapkan pada posisi seperti dirinya, ia yakin wali kota perempuan
pertama di Surabaya itu, juga akan melakukan hal sama seperti yang dilakukan
para penghuni lokalisasi.
Tidak hanya itu, Rani
juga menuding mentan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) tersebut,
hanya disibukkan memburu penghargaan baik nasional maupun internasinal.
“Wali kota sekarang
hanya memikirkan penghargaan tapi lalai terhadap nasib rakyatnya sendiri,”
tegasnya. ( Ham )